Minggu, 01 Mei 2011

RAPBN 2011 Tidak "Nendang"


Kompas Rabu, 18 Agustus 2010 | 03:04 WIB

A Tony Prasetiantono
Semula saya sangat senang mendengar pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie dalam sambutannya menjelang pidato pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2011, bahwa pemerintah perlu menaruh perhatian terhadap pembangunan infrastruktur agar bisa membantu peningkatan efisiensi di bidang ekonomi (16/8/2010).
Optimisme saya kian kuat tatkala pidato Presiden Yudhoyono juga mengemukakan hal yang sama, bahwa pembangunan infrastruktur sangat penting. Namun, tak lama kemudian saya menyadari, itu semua ternyata cuma sebatas wacana. Baru menjadi kesadaran, visi, dan cita-cita bersama, tetapi belum tampak komitmen kuat untuk mengupayakan implementasinya. Apa buktinya?

Dari volume belanja Rp 1.202 triliun, pemerintah menganggarkan belanja modal (capital expenditure) Rp 121 triliun. Dana ini akan dialokasikan untuk menunjang infrastruktur, termasuk irigasi dan transportasi. Ketika Presiden mengemukakan ini, dirinya menuai tepuk tangan meriah. Apalagi dikatakan bahwa angka ini naik 28 persen (Rp 26,6 triliun) dari anggaran tahun sebelumnya.
Tentu saja hadirin tidak terlalu menyadari angka tersebut sesungguhnya kecil, dan sangat diragukan kemampuannya untuk mendorong pembangunan infrastruktur, sebagaimana visi yang dikemukakan Ketua DPR dan Presiden. Memang pemerintah mempunyai keterbatasan untuk membelanjakan lebih banyak anggarannya bagi pembangunan infrastruktur. Pemerintah sangat konservatif dan berhati-hati sehingga APBN 2011 hanya ”diizinkan” defisit 1,7 persen terhadap PDB, atau sekitar Rp 115 triliun.
Sikap konservatif ini tentu saja positif di satu sisi, yakni mengerem terjadinya penambahan utang pemerintah. Namun, di sisi lain, APBN menjadi tidak cukup bertenaga untuk menjalankan fungsinya sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi.
Padahal, sebagaimana dianut para pengikut Keynesian (ekonom terbesar abad ke-20 dari Inggris, John Maynard Keynes, 1936), ketika sektor swasta mengalami kebuntuan, pemerintah harus sigap mengambil alih tugas menstimulasikan perekonomian melalui kebijakan fiskal. Dengan kata lain, belanja pemerintah menjadi tumpuan harapan untuk menggerakkan ekonomi karena sektor swasta kedodoran atau kelelahan.
Alternatif yang kini ditempuh, pemerintah meminta tolong sektor swasta untuk membangun infrastruktur. Itu sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah sibuk menyelenggarakan infrastructure summit agar dapat mengundang sebanyak mungkin minat investor swasta (domestik dan asing). Pemerintah juga menawarkan kerja sama dengan swasta, melalui skema public-private partnership (PPP).
Tak cukup
Namun, itu semua ternyata tidak cukup. Kombinasi antara pemerintah dan swasta ternyata hanya mampu membelanjakan dana pembangunan proyek infrastruktur setara 3 persen terhadap PDB. Idealnya, negara berkembang seperti Indonesia belanja infrastrukturnya 5 persen terhadap PDB. Ironisnya, pencapaian Indonesia masih lebih rendah daripada negara berpendapatan rendah seperti Laos (4 persen) dan Mongolia (7,5 persen).
Bahkan India—yang sering dikritik sebagai negara pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia sesudah China, tetapi infrastrukturnya jelek (poor)—belanja infrastrukturnya mencapai 4,5 persen terhadap PDB. Sedangkan Brasil, negara dengan perekonomian terbaik di Amerika Latin, belanjanya 5 persen. Yang paling top di dunia adalah China, dengan 10 persen.
Akhir-akhir ini komplain terhadap kemacetan di Jakarta kembali marak. Semula saya berharap agar momentum ini bisa menginspirasi pemerintah untuk membelanjakan APBN-nya ke infrastruktur. Misalnya dengan meneruskan proyek monorel yang sesungguhnya biayanya ”hanya” Rp 7 triliun. Jika diasumsikan proyek ini diselesaikan dalam empat tahun, maka beban setahunnya maksimal Rp 2 triliun.
Proyek yang lebih mahal adalah kereta bawah tanah (subway). Sepintas ongkosnya memang mahal. Satu segmen subway rute Blok M-Jalan Jenderal Sudirman, biayanya Rp 16 triliun. Jika proyek ini diamortisasikan enam tahun, anggaran per tahun maksimal Rp 3 triliun. Jika dibandingkan volume APBN yang Rp 1.200 triliun, ini bukan apa-apanya.
Memang, dibandingkan belanja modal 2011 Rp 121 triliun, biaya pembangunan monorel dan subway tampak besar. Namun, dengan amortisasi, dan pemerintah bersedia menaikkan belanja infrastruktur, pembangunan ini masuk akal dan layak secara ekonomis. Pembangunan infrastruktur semacam itu punya dua urgensi. Pertama, sebagai upaya mengurai kemacetan yang sudah kelewatan di Jakarta. Kalau tidak dimulai sejak sekarang, kemacetan akan kian mengerikan. Persis yang digambarkan mantan Gubernur DKI Sutiyoso: ketika keluar dari rumah menuju tempat kerja, kita langsung kena macet.
Kita selama ini sibuk berdebat, sementara pembangunan monorel terhenti. Padahal, produksi mobil 2010 terus meningkat, akan mencapai 700.000 unit, yang berarti mengalahkan Thailand dan terbesar di Asia Tenggara.
Kedua, berdasarkan survei Forum Ekonomi Dunia (Global Competitiveness Index 2009-2010), ketersediaan infrastruktur yang lemah merupakan kendala nomor dua bagi investasi. Problem nomor satu adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien, sedangkan kendala lain di bawah infrastruktur: (3) instabilitas kebijakan ekonomi, (4) korupsi, (5) lemahnya akses terhadap sumber pembiayaan, (6) regulasi tenaga kerja yang restriktif, (7) regulasi pajak yang memberatkan, dan (8) inflasi.
Pemerintah seyogianya lebih fokus dan memberikan prioritas tinggi terhadap pembangunan infrastruktur, terutama jalan, sedangkan infrastruktur lain, terutama jaringan telekomunikasi dan energi, sudah banyak diminati investor swasta. Listrik, dalam skala tertentu, juga sudah kian diminati. Namun, infrastruktur sangat mendesak ditangani pemerintah. Menunggu swasta tampaknya seperti ”menunggu Godot” dalam naskah Samuel Beckett. Artinya: tak kunjung datang.
Celah itu masih ada, tetapi pemerintah kurang berani melakukan. Defisit RAPBN 2011 ditetapkan 1,7 persen. Berdasarkan pengalaman, realisasi defisit ini paling hanya 1,4 persen. Artinya, RAPBN 2011 benar-benar miskin stimulus. Defisit bisa kita naikkan menjadi 2 persen terhadap PDB, tetapi dengan syarat.
Pertama, tambahan utang ini masih sanggup dibayar kembali (affordable). Kedua, alokasinya tepat, dalam hal ini digunakan untuk membangun infrastruktur yang kelak akan memberi multiplier effect tinggi. Ketiga, penggunaannya dikawal ketat agar tidak dikorupsi. Jika tidak, pembangunan infrastruktur cuma sekadar wacana sehingga RAPBN 2011 pun menjadi tidak ”nendang”, alias kekurangan daya dorong pertumbuhan ekonomi.
A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM.

Tidak ada komentar: