Kompas, Sabtu, 13 November 2010 | 03:15 WIB
Pernyataan Rusia itu disampaikan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov di sela-sela KTT G-20 di Seoul, Korea Selatan, Jumat (12/11).
Lavrov mengatakan, Rusia terbuka terhadap kerja sama pembangunan perisai antirudal ini asal negara tersebut diakui sebagai mitra sejajar. ”Kemitraan strategis harus dibangun dengan landasan kesetaraan,” katanya.
Presiden Rusia Dmitry Medvedev dijadwalkan bertemu dengan para pemimpin negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu dalam forum Majelis NATO-Rusia (NRC) di Lisabon, Portugal, 20 November.
Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen saat berkunjung ke Moskwa, 3 November, dan bertemu langsung Medvedev dan Lavrov, terang-terangan mengharapkan kerja sama Rusia dalam program pertahanan rudal itu.
”Saya yakin pertemuan di Lisabon akan mendatangkan manfaat bagi 29 negara anggota NRC (28 anggota NATO ditambah Rusia) dalam berbagai isu, seperti Afganistan, perang melawan terorisme, proliferasi (senjata), dan, mudah-mudahan juga soal pertahanan rudal,” ungkap Rasmussen seperti dikutip di laman resmi NATO (www.nato.int).
Lavrov sendiri menyatakan, NATO saat ini sudah bukan ancaman bagi Rusia seperti pada era Perang Dingin. Namun, ia masih khawatir dengan ekspansi kekuatan NATO. ”Kami tidak hanya akan melupakan era (Perang Dingin) itu, tetapi juga akan merumuskan kemitraan strategis (dengan NATO). NATO bukan ancaman, tetapi salah satu bahayanya adalah keinginan NATO memproyeksikan kekuatan militer di luar cakupan wilayahnya,” tutur Lavrov.
Bulan lalu, Menteri Pertahanan Rusia Anatoly Serdyukov mengatakan, Rusia siap berunding dengan NATO dalam pembangunan sistem pertahanan rudal Eropa asal beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan bisa dijelaskan. ”Hal terpenting bagi kami pertama-tama adalah mendefinisikan apa sebenarnya ancaman paling nyata bagi Eropa,” ungkap Serdyukov dalam wawancara dengan mingguan Der Spiegel dari Jerman.
AS sudah lama berniat menggelar sistem pertahanan rudal di negara-negara eks Uni Soviet di Eropa Timur. Namun, rencana ini tertunda terus karena diprotes keras oleh Rusia, yang merasa sistem itu mengancam kedaulatannya.
AS berulang kali menegaskan, sistem pertahanan rudal itu bertujuan melindungi Eropa dari ancaman ”negara-negara nakal” (rogue states), seperti Iran. Untuk meyakinkan niat ini, AS dan NATO mengajak Rusia turut terlibat dalam program ini.
Sebuah laporan di koran Nezavisimaya Gazeta di Moskwa, Jumat, mengatakan, NATO bahkan menawarkan kepada Rusia akses data satelit militer AS dan informasi strategis lainnya apabila negara itu mau bergabung dalam pembangunan perisai rudal ini.
”Dengan bergabung dalam sistem NATO ABM (anti-ballistic missile), Moskwa bisa memperkuat keamanan teritorial Rusia dengan menerima ’informasi tertentu’ dari satelit-satelit AS, misalnya gambar-gambar Korea Utara,” tulis koran tersebut.
Juru bicara NATO James Appathurai di Brussels, Belgia, mengaku belum membaca artikel itu dan belum bisa berkomentar.
Ancaman politik AS
Pada kesempatan sama di Seoul, Lavrov, juga mengharapkan perubahan peta politik dalam negeri AS tak akan mengganggu proses ratifikasi perjanjian pengurangan senjata strategis (New START) antara AS dan Rusia.
Perjanjian, yang akan mengurangi jumlah senjata nuklir dua negara hingga 30 persen, sudah ditandatangani Presiden Medvedev dan Presiden Barack Obama di Praha, Ceko, 8 April. Namun, perjanjian baru berlaku setelah diratifikasi Senat AS dan Duma, majelis rendah parlemen Rusia.
Kemenangan Partai Republik di DPR AS dan keberhasilan mereka menambah kursi di Senat AS dikhawatirkan akan mengganjal perjanjian ini.
(AFP/Reuters/DHF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar