Oleh Oce Madril
Mereka mengumumkan 18 kebohongan pemerintah: sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Kebohongan dalam penegakan hukum—khususnya terkait pemberantasan korupsi—paling disorot.
Mereka mengkritik apa yang dianggap sebagai janji kosong Presiden memimpin pemberantasan korupsi, lambannya penanganan kasus rekening gendut perwira tinggi kepolisian, dan ketidakjelasan pengusutan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Beberapa kasus itu hanya sebagian yang menunjukkan hukum ternyata bukanlah yang tertinggi di negeri ini sebab masih kalah oleh uang dan kekuasaan.
Menanggapi kritik itu, pemerintah bersikeras membantah dengan menyatakan bahwa pemerintah telah berhasil memberantas korupsi. Hanya saja, data dan fakta bicara lain. Laporan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum UGM pada 2010 mengamini pendapat tokoh agama itu. Dalam laporannya, Pukat Korupsi mencatat bahwa selama tahun 2010 pemerintah gagal memberantas korupsi.
Alih-alih memperbaiki, serentetan peristiwa hukum yang terjadi pada 2010 justru bikin publik lelah dan cemas.
Sebut saja antiklimaks proses hukum skandal Bank Century; ketakjelasan penanganan kasus rekening gendut perwira tinggi Polri; KPK yang terus tersandera; cerita di balik sel mewah; grasi, remisi, dan pembebasan bersyarat bagi koruptor; hingga kemunculan sosok super bernama Anggodo Widjojo, Artalyta Suryani, dan Gayus H Tambunan.
Anehnya, peristiwa demi peristiwa itu bergulir begitu saja tanpa penyelesaian yang serius dan paripurna. Bahkan, ada kesan kuat, berbagai peristiwa itu sengaja dibiarkan begitu saja.
Jauh panggang dari api
Sejak awal pemerintahan SBY Jilid 2, pemberantasan korupsi stagnan. Nyaris tak ada kemajuan yang patut dibanggakan. Genderang perang yang ditabuh sang pemimpin negeri terdengar nyaring di medan wacana, tetapi sepi senyap di arena sesungguhnya.
Tak dapat dibantah bahwa di negeri ini kata dan tindakan jauh panggang dari api. Perang terhadap koruptor telah dinyatakan Presiden SBY sejak periode pertama kepemimpinannya. Komitmen itu terus diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Ironisnya, kasus korupsi kakap yang memperoleh perhatian publik tidak pernah diusut tuntas.
Lembaga penegak hukum yang diyakini tempat bersarang para mafia hukum tak pernah dibenahi. Ampunan untuk koruptor tetap dikeluarkan. Pengurangan hukuman dan pembebasan bersyarat terus diberikan. Dalam memberantas korupsi, komitmen politik tak cukup, harus diikuti tindakan politik nyata. Keberanian mengambil tindakan nyata faktor penting sebab pemberantasan korupsi sangat erat dengan politik.
John St Quah (2006) mencatat keberanian seorang presiden menjadi faktor penentu keberhasilan pemberantasan korupsi. Meneliti pemberantasan korupsi di Asia (Mongolia, India, Filipina, Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan), Quah menyimpulkan bahwa kegagalan pemberantasan korupsi di beberapa negara di Asia, seperti Filipina, disebabkan oleh kepengecutan presiden menindak pejabat dan elite politik yang berada dalam lingkaran kekuasaannya.
Pendapat Quah ini diamini oleh Robert Klitgaard (2008) yang menempatkan keberanian mengeksekusi program pemberantasan korupsi sebagai kunci sukses memberantas korupsi.
Tanggung jawab presiden
Selama ini Presiden selalu berkelit tak mau mengintervensi penegakan hukum. Dengan menggunakan alasan tersebut, sebenarnya tanpa sadar pemerintah sedang membiarkan perampokan uang negara. Dalam konteks ini, presiden dapat dikenai tuduhan bahwa ia membiarkan kejahatan korupsi.
Lebih jauh dari itu, presiden dapat dianggap melanggar konstitusi. Sebagai mandataris konstitusi, presiden diperintahkan menegakkan hukum. Jika presiden lalai, ia dapat dianggap melanggar konstitusi. Maka, para wakil rakyat di Senayan dapat mempertanyakan hal ini.
Mereka dapat menggunakan hak-hak konstitusionalnya mempertanyakan centang-perenangnya penegakan hukum. Sangat mungkin bahwa pertanyaan wakil rakyat itu menyentuh isu pengithaman (impeachment). Apalagi setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang mempermudah pengajuan usul pengithaman.
Saat ini pemerintah telah bersikap dengan menerbitkan instruksi presiden terkait penanganan kasus mafia pajak dan kasus Century. Namun, kemangkusannya dipertanyakan. Jika instruksi presiden itu gagal dijalankan oleh Jaksa Agung, Kapolri, Dirjen Pajak, dan pembantu presiden lainnya, beranikah Presiden mencopot mereka?
Oce Madril Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Sumber : Kompas, Kamis, 27 Januari 2011 | 03:43 WIBSource : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/03434987/stagnasi.pemberantasan.korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar