Oleh Sudjito
Menjilat ludah sendiri. Siapa mau? Namun, itulah sepenggal fakta pada tayangan televisi, Rabu, 12 Januari sore lalu, ketika Ketua Komisi III DPR menarik ucapannya tentang kasus Gayus yang, jika tuntas diselesaikan, akan berdampak sistemik sebab banyak pejabat terlibat sehingga perekonomian nasional dan stabilitas politik bisa guncang.
Fakta ini sekadar contoh konkret bahwa retorika politik masih bagian dominan dari pemberantasan korupsi. Mangkuskah retorika semacam itu? Jelas tidak. Jika perilaku semacam itu berlanjut, kecaman dan caci maki akan muncul. Pemberantasan korupsi tak fokus, bahkan gagal. Bangsa ini akan rugi.
Aneh tapi nyata. Sudah jelas bahwa hukum pada seluruh lini di negeri ini karut-marut, tetapi kepercayaan masyarakat terhadap hukum masih tinggi. Lihatlah, semua kasus korupsi mesti ditangani sesuai dengan prosedur hukum, oleh aparat penegak hukum, dan melalui lembaga hukum formal (negara).
Padahal, kita tahu, penyelesaian kasus korupsi melalui jalur hukum cenderung mengecewakan daripada memuaskan. Betapa banyak koruptor yang dihukum ringan. Di penjara masih diberi fasilitas mewah. Sudah jelas jahat, malah dikasih remisi, dan diberi kesempatan pelesiran ke luar negeri.
Kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu irasional. Dari fakta ini kita harus mengakui bahwa ukuran obyektif-rasional dalam hukum masih kalah dengan kekuatan irasional-primordial. Kalau sudah begini faktanya, apakah pemberantasan korupsi masih akan tetap ditangani secara rasional, mekanis, dan linier sebagaimana diajarkan oleh paham legal-positivisme?
Sarat kepentingan
Rasanya perlu saling mengingatkan bahwa sebenarnya pemberantasan korupsi tak akan pernah sepi dari kepentingan. Yang dimaksud dengan kepentingan di sini adalah kehendak yang beraneka ragam dari berbagai pihak sehingga selama proses pemberantasan korupsi berlangsung, terjadilah kompetisi, tarik-menarik, dorong-mendorong, barter, dan perilaku menyimpang dari teks-teks hukum formal.
Perilaku menyimpang itu terutama dilatari kepentingan politik dan ekonomi. Itu berarti, ketika lembaga politik (DPR dan DPRD), partai politik, serta para pebisnis ikut campur tangan di dalam pemberantasan korupsi, maka sulit diharapkan proses hukum dapat berjalan normal. Dapat dipastikan akan terjadi pembelokan, penyimpangan, bahkan penihilan terhadap hukum.
Kegagalan pemberantasan korupsi dalam perspektif hukum dapat dimaknakan sebagai kekalahan hukum dalam perang melawan politikus dan pebisnis. Hukum beserta aparat penegak hukum di negeri ini sekarang telah jadi tawanan politikus dan pebisnis. Selanjutnya hukum dan aparat penegak hukum bisa dimainkan sesuai dengan skenario yang dirancang untuk melanggengkan status quo dan kemapanan usaha.
Rudolf von Jhering melukiskan keadaan itu dengan ”...hukum itu munafik dan mitos belaka. Hukum itu cuma bagus untuk dituliskan, tetapi praktiknya lain.” Apabila kita renung dalam-dalam, sindiran itu cukup mengena bagi kondisi hukum di Indonesia saat ini.
Para begawan tua seperti Adnan Buyung Nasution, Ahmad Syafii Maarif, dan JE Sahetapy geram dan marah berhadapan dengan pemberantasan korupsi yang tak kunjung berhasil itu. Gayus Tambunan telah tunjuk hidung para koruptor dan tokoh mafia pajak di negeri ini, tetapi Presiden dan para aparat penegak hukum lembek tak bernyali, berkilah, dan berputar-putar seolah-olah sedang berorasi politik. Retorika politik seperti itu, selain terkesan defensif, juga tak menyelesaikan masalah. Itu justru kian memicu kemarahan publik.
Tidak hitam-putih
Jangan pernah ada yang mendikotomikan persoalan korupsi sebagai kasus politik atau kasus hukum. Kasus Bank Century tak akan pernah tuntas selama ada perbedaan tajam antara DPR yang secara politis meyakini ada kasus korupsi dan KPK yang dari aspek hukum tak melihat hal tersebut sebagai kasus korupsi. Korupsi jangan dilihat hitam-putih sebagai masalah politik atau masalah hukum. Koruptor adalah musuh rakyat karena mengganggu tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial. Mereka perlu ditangkap dan diadili sesuai dengan aspirasi rakyat.
Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan sikap tegas dan nyata. Semua metode dan kekuatan hukum perlu digunakan secara bijak dan didukung dengan fasilitas, pembiayaan, dan keteladanan para pemimpin di negeri ini.
Presiden pernah berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Janji itu utang. Sampai kapan pun utang akan ditagih hingga lunas. Pelunasan janji tak cukup dibayar dengan retorika politik, baik olehnya sendiri maupun oleh politikus asuhannya. Janji juga tak akan lunas dengan pencitraan diri.
Cercaan para begawan dan akademisi tak lain tak bukan hanya memberi dukungan moral dan spirit agar pemimpin dan rakyat saling berkolaborasi dan melengkapi dalam memberantas korupsi. Berbagai kekurangan pada dimensi hukum janganlah menghalangi sukses pemberantasan korupsi.
Presiden adalah panglima perang dalam memberantas korupsi. Ia harus berada di medan perang, berdiri tegak di barisan terdepan. Betapa pun berat, beban akan jadi ringan dan perang dapat dimenangkan apabila presiden, politisi, pebisnis, dan penegak hukum tak kehilangan perspektif dan orientasi.
Sudjito Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM
Sumber : Kompas, Kamis, 27 Januari 2011 | 03:42 WIB
Source : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/03423167/korupsi.dan.retorika.politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar