Selasa, 19 April 2011

Menyoroti Efisiensi Perbankan Indonesia

Kompas, Senin, 27 September 2010 | 03:00 WIB

Mirza Adityaswara
Akhir-akhir ini kita sering mendengar kritik soal efisiensi perbankan Indonesia. Beberapa pernyataan mengatakan bahwa berhubung margin bunga bank sudah tinggi, maka untuk mengompensasi biaya peningkatan giro wajib minimum, janganlah bank menaikkan bunga deposito dan bunga kredit. Pernyataan lain mengkritik manajemen likuiditas perbankan karena rasio pinjaman atau loan to deposit ratio rendah dan bank terlalu banyak menempatkan dana pada Sertifikat Bank Indonesia.

Bagi bankir, analis, dan investor saham perbankan, pernyataan itu sebenarnya tidak tepat. Jika tidak dijelaskan hal yang sebenarnya, dikhawatirkan regulator dan DPR bisa membuat kebijakan perbankan yang tidak tepat sasaran.
Tentang peningkatan giro wajib minimum (GWM) oleh Bank Indonesia, kebijakan itu diambil karena ekonomi Indonesia tumbuh cukup cepat (6,2 persen), sedangkan penawaran barang tidak bisa mengimbangi. Hal ini disebut ekonomi memanas (overheating) sehingga perlu pengetatan likuiditas agar sisi permintaan agak mendingin.
Gejala overheating ditunjukkan oleh inflasi (6,4 persen) di atas target (5,3 persen). Juga pertumbuhan impor di atas pertumbuhan ekspor sehingga terjadi defisit neraca perdagangan pada Juli.
Jika defisit perdagangan bulanan dibiarkan membesar, kepercayaan investor pasar keuangan lama-kelamaan terkikis. Kepercayaan investor pasar keuangan perlu dijaga karena merekalah yang saat ini membiayai sebagian modal sektor swasta dan menutup defisit anggaran pemerintah.
Kenaikan GWM bukanlah kebijakan untuk mendorong kredit. Di Asia, sebenarnya bukan hanya Indonesia yang memperketat moneter. China, Malaysia, India, Thailand, Taiwan, Korea, dan Australia juga melakukannya. Menghadapi penarikan likuiditas dari GWM sekitar Rp 60 triliun, beberapa bank mungkin bersiap menaikkan bunga deposito. Namun, pada saat ini kita sebenarnya tidak perlu khawatir pasar keuangan menjadi ketat. Perbankan yang berlebih memiliki Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bisa mengalihkan dananya ke GWM sehingga tak berdampak luas pada likuiditas.
Akan tetapi, tentu saja konversi tersebut akan mengurangi margin bank, yaitu dari semula menerima bunga SBI 6,5 persen menjadi menerima bunga GWM 2,5 persen. Kita harus mengerti, perbankan menempatkan dana di SBI adalah sebagai dana cadangan bagi kredit yang belum ditarik. Jika kita asumsikan 20 persen dari Rp 500 triliun kredit yang sudah disetujui akan dicairkan dalam satu tahun ini, perbankan akan membutuhkan Rp 100 triliun likuiditas.
Pada kuartal IV selalu ada akselerasi pencairan anggaran pemerintah (APBN) yang saat ini disimpan di rekening pemerintah di BI. Dari pola tahun 2009, karena pada Agustus 2010 rekening pemerintah ada Rp 196 triliun, maka pada kuartal IV akan ada pencairan APBN sekitar Rp 100 triliun sampai Rp 140 triliun yang masuk ke pasar uang.
Pasar keuangan juga tampaknya masih akan mengalami ekses likuiditas dari investor asing. Dari awal tahun ada tambahan likuiditas sekitar Rp 95 triliun dari investor asing, yaitu Rp 70 triliun masuk ke pasar Surat Utang Negara dan Rp 25 triliun ke SBI. Inilah hal yang paling krusial, yaitu menjaga kepercayaan investor asing karena tanpa likuiditas dari luar, pasar keuangan saat ini sebenarnya cukup ketat.
Sejalan dengan pertumbuhan kredit, rasio pinjaman (LDR) perbankan Indonesia dari tahun ke tahun naik terus setelah rekapitalisasi perbankan tahun 2001, yaitu hanya 40 persen, menjadi 76 persen saat ini. Kita harus mengerti bahwa LDR perbankan di luar Bank Mandiri, BCA, dan BNI sudah tinggi, yaitu 88 persen. Artinya, dengan pertumbuhan kredit sekitar 25 persen pada tahun 2011 dan 2012, kita harus bersiap-siap melihat terjadinya kembali perang suku bunga deposito pada akhir tahun 2011 atau awal tahun 2012.
Tentang rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) yang saat ini hanya 26 persen, itu merupakan konsekuensi dari kredit macet Rp 500 triliun pada masa krisis 1998. Kredit tersebut dipindahkan ke BPPN dan diganti dengan obligasi rekapitalisasi. Jadi, jangan lihat rasionya, tetapi lihatlah pertumbuhan kredit per tahun, 20 persen sampai 30 persen pada tahun 2004, 2005, 2007, 2008, dan 2010.
Tentang margin bunga perbankan, Indonesia (5,89 persen) yang tertinggi di ASEAN. Pada tahun 1997, margin bunga bank hanya sekitar 3 persen. Tetapi justru ini seharusnya membuat bangga regulator karena perbankan Indonesia sudah bertransformasi dari sebelumnya pada tahun 1997 mayoritas memberikan kredit korporasi berbunga rendah kepada grup sendiri, yaitu para konglomerat pemilik bank, sekarang perbankan Indonesia memberikan akses kredit kepada sektor usaha kecil menengah, sektor mikro, sektor perumahan, dan sektor kredit konsumsi.
Bank memerlukan modal untuk dapat bertumbuh dan berekspansi ke seluruh Tanah Air. Berhubung pemerintah tidak memiliki dana menginjeksi modal bank BUMN, perbankan BUMN dan bank swasta harus mengambil dana dari investor pasar modal.
Konsekuensinya, bank harus memiliki keuntungan yang baik. Akibatnya, margin bunga bersih perbankan cenderung dipertahankan tinggi. Itulah yang membuat investor saham ”memborong” saham perbankan Indonesia karena return on equity-nya tinggi.
Jadi, bank perlu untung untuk dapat modal dari investor pasar keuangan. Kredit harus dikelola dengan hati-hati karena bank dititipi dana masyarakat. Cara jitu bagi regulator untuk menurunkan margin bunga bank sekaligus meningkatkan akses kredit adalah mendorong kompetisi di setiap segmen bisnis bank (kredit korporasi, menengah, kecil, mikro, dan kredit konsumsi).
Kompetisi di segmen kredit korporasi dan konsumsi sudah cukup ketat, yaitu dari perbankan asing dan pasar modal. Menjadi tantangan bagi regulator adalah mendorong kompetisi di segmen kredit kecil, menengah, dan mikro karena segmen itu memerlukan tenaga kerja yang besar, teknologi canggih, dan risiko operasional yang tidak kecil.
Mirza Adityaswara Ekonom; Analis Perbankan dan Pasar Modal

Tidak ada komentar: