Kompas, Kamis, 28 Oktober 2010 | 03:51 WIB
Salahuddin Wahid
Beberapa mahasiswa The University of New South Wales, Australia, ditemani dua dosen berkunjung ke Pesantren Tebuireng diantar oleh Prof Kacung Marijan dari FISIP Unair.Mereka belajar bahasa Indonesia dan ingin mengetahui lebih banyak Indonesia, negara dan rakyatnya. Dalam dialog dengan mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Mereka belum lancar, tetapi berusaha keras menggunakan bahasa Indonesia. Tidak mudah mengikuti dan memahami apa yang mereka ucapkan karena logatnya memang amat berbeda. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang banyak dipelajari warga Australia setelah bahasa Jepang dan Mandarin.
Saya bertanya mengapa mereka tertarik belajar bahasa Indonesia? Ada yang menjawab bahwa Indonesia adalah negara yang besar dan penting serta mempunyai masa depan yang baik. Karena itu, dia belajar bahasa Indonesia supaya bisa memperoleh manfaat. Ada yang menjawab bahwa bahasa Indonesia itu menarik. Memang bahasa Indonesia menarik karena banyak perbedaan dengan bahasa Inggris (tidak punya kata kerja terkait waktu). Juga karena tidak mengikuti hukum MD, melainkan hukum DM.
Kurang ada kebanggaan
Tampaknya di Indonesia nasib bahasa Indonesia tidak sebaik di Australia. Dalam Ujian Nasional 2010, di banyak daerah terutama DIY, banyak murid tidak lulus karena nilai bahasa Indonesia mereka amat buruk. Kondisi pengembangan bahasa Indonesia di negerinya sendiri ternyata lebih buruk dari dugaan saya. Menurut Rektor Unesa (saat itu, Mei 2010) Prof Haris Suparno, hal ini berlangsung sejak dulu. ”Bangsa kita tidak terlalu bangga dengan bahasanya sendiri. Banyak guru yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sarjana kita dan guru besar kita juga demikian. Kondisi Itu memprihatinkan, sebab mencintai bahasa sesungguhnya tidak menurunkan martabat bangsa.”
Prof Bambang Yulianto, Guru Besar Bidang Ilmu Pembelajaran Bahasa di Unesa, dalam pidato pengukuhan berjudul ”Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah: Dari Mana Mau ke Mana”, menyampaikan keprihatinan terhadap kondisi pembelajaran bahasa Indonesia. Kurikulumnya berganti-ganti, tetapi tetap tidak menghasilkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik. Itu pun diperparah oleh kurangnya guru dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik.
Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Unesa Bidang Linguistik Jepang Prof Djojok Soepardjo berjudul ”Masyarakat dan Bahasa Jepang sebagai Kekuatan dalam Mewujudkan Modernisasi Jepang”, disampaikan bahwa tonggak modernisasi di Jepang bukan sekadar Restorasi Meiji 1868. Namun, kekuatan pada budaya dan kecintaan pada bahasa Jepang yang membuat restorasi berjalan mantap. Karena itu, kendati hancur setelah Perang Dunia II, perekonomian Jepang bangkit dalam sepuluh tahun. Bahkan setiap tahun terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen. Kebanggaan untuk menggunakan bahasa Jepang, menurut Prof Djojok, menjadi kekuatan masyarakat Jepang menghadapi modernisasi.
Di Indonesia kita melihat kurang ada kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia, terutama di kalangan cendekiawan. Dalam pidato para pejabat, termasuk Presiden SBY, sering kali digunakan bahasa Inggris. Kita juga gemar mengambil alih kata bahasa Inggris dan menjadikannya kata dalam bahasa Indone- sia. Mungkin karena malas atau karena gemar (sok berbahasa Inggris). Padahal, ada kata padanan untuk kata-kata yang diserap itu.
Contohnya kata arogan, disparitas, kondusif, mitigasi, klir. Padahal, arrogant tak lain tak bukan ’sombong’; disparity itu ’perbedaan’; conducive for ’mendukung untuk’; mitigation ’peringanan bencana’; clear ’jernih’ atau ’jelas’. Masih banyak lagi kata-kata Inggris yang sering digunakan oleh para cendekiawan kita dalam kegiatan sehari-hari. Kita berharap pers ikut di dalam kegiatan mengurangi penggunaan kata-kata Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Kampanye
Lebih jauh lagi kita perlu mengkaji sejauh mana pidato pengukuhan Prof Djodjok Supardjo itu dapat kita terapkan di Indonesia. Kalau banyak mengandung kesesuaian, kita bisa menyosialisasikan kandungan pidato itu supaya bisa menjadi renungan kita bersama. Kalau sudah mendapat tanggapan positif, bisa kita jalankan. Pers dan para pencinta bahasa Indonesia perlu memulai kampanye bangga berbahasa Indonesia dengan berbagai cara.
Memang upaya itu sungguh tidak mudah. Saya memaksa siswa di Pesantren Tebuireng untuk bisa menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dengan mewajibkan siswa membaca buku cerita atau lainnya (dua minggu membaca satu buku) lalu membuat ringkasan tertulis dari apa yang dibaca. Ternyata guru pun kurang serius menanggapi usul saya itu sehingga program itu kurang berkembang. Buat mereka, mata pelajaran Bahasa Indonesia tak terlalu penting. Asal kita mampu bicara bahasa Indonesia, sudah cukup.
Dalam kenyataan, kemampuan mereka berbahasa Indonesia kurang baik, padahal kemampuan itu amat dibutuhkan untuk bisa maju, baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa. Butir ketiga Sumpah Pemuda yang pernah kita anggap sebagai salah satu kebanggaan bangsa mulai meredup. Kita perlu tumbuhkan kembali kebanggaan itu.
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar