Kompas, Kamis, 28 Oktober 2010 | 03:51 WIB
Anas Urbaningrum
Ada tiga tonggak penting dalam kehidupan bangsa Indonesia: Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sumpah Pemuda 1928 merupakan janji untuk menjadi bangsa yang bukan berakar pada kesukuan atau ikatan primordial lainnya, tetapi dibentuk oleh persamaan nasib dan persamaan tujuan: menjadi bangsa yang satu, bangsa Indonesia. Dari Sumpah Pemuda kita belajar bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah etnonasionalisme, melainkan nasionalisme yang dipilih secara sadar. Menjadi Indonesia bukanlah suatu yang terberi, tetapi dipilih, dan kemudian diperjuangkan.Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 merupakan warisan tradisi intelektual para bapak pendiri bangsa ini. Mereka terbiasa berdialektika, membenturkan gagasan-gagasan besar universal dengan nilai-nilai kebijaksanaan lokal dan kondisi faktual saat itu, yaitu rakyat yang tertindas oleh kolonialisme. Dari dialektika itulah terumuskan suatu sintesis nilai-nilai kebaikan universal yang relevan dengan situasi lokal dan dijadikan cetak biru dari suatu negara yang pada waktu itu bahkan belum lahir.
Kulminasi dari proses itu adalah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Setelah menyatakan diri sebagai bangsa, Indonesia kemudian menyatakan diri sebagai negara merdeka dalam kerangka negara bangsa, yaitu negara yang dilahirkan untuk kepentingan segenap bangsa Indonesia. Bentuk negara republik dapat dibaca sebagai konsekuensi semangat zaman. Setelah negara Indonesia berdiri, semangat Sumpah Pemuda dan nilai-nilai Pancasila direalisasikan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan konstitusi dinyatakan secara eksplisit bahwa karakteristik negara Indonesia adalah: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Sumpah Pemuda 1928 adalah janji, bahwa kita akan bertanah air yang satu, menjadi bangsa yang satu dan memanifestasikan kesatuan itu dalam penggunaan bahasa sebagai perangkat lunak dalam berpikir dan berinteraksi.
Walaupun dipengaruhi faktor-faktor partikular, janji-janji itu memiliki nilai-nilai universal yang tak lekang dimakan oleh waktu. Universal karena mencakup kebutuhan asasi manusia: perlindungan, identitas, modus berpikir dan pengakuan. Kini, 82 tahun setelah janji itu ditulis, kita masih memercayainya sebagai tujuan dan pengikat kebangsaan kita. Sejauh mana janji itu sudah dapat kita penuhi?
Demokrasi produktif
Perjalanan sejarah politik kita juga dapat dibaca sebagai perjalanan usaha memenuhi janji kebangsaan. Dengan proyek nation and character building, Bung Karno membangkitkan kebanggaan untuk menjadi Indonesia. Bahkan, Bung Karno menciptakan musuh-musuh ideologis untuk mengonsolidasikan dan menguatkan ikatan identitas kebangsaan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat, setara, dan patut dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Sayangnya, dengan menempatkan politik sebagai panglima, pemerintahan demi pemerintahan di bawah Bung Karno gagal mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang merupakan kebutuhan hakiki manusia.
Orde Baru menegaskan diri sebagai antitesis Bung Karno dengan menempatkan ekonomi sebagai panglima. Kesejahteraan material menjadi arus utama, yang bahkan tak jarang mengorbankan kebebasan dan keadilan. Orde Baru mencerabut negara dari imajinasi sosiologis rakyat, karena negara hadir sebagai represi dan ketidakadilan. Klaim kesejahteraan ekonomi yang runtuh pada krisis moneter 1997 menyebabkan rezim Orde Baru kehilangan alasan keberadaannya.
Masa transisi demokrasi tengah kita lewati. Memang kita rasakan bahwa aras liberalisasi politik berjalan lebih cepat dari aras institusionalisasi demokrasi. Namun, pelajaran yang didapat tetaplah berharga. Pengalaman tiga kali pemilu membuat kita semakin dewasa dalam menjalankan demokrasi, tetapi masih terbatas pada demokrasi prosedural. Kini saatnya kita melangkah ke demokrasi yang substansial, yaitu demokrasi yang produktif.
Demokrasi produktif adalah tatanan politik demokratis yang mampu membagi insentif demokrasi secara merata kepada semua peserta dalam sistem tersebut, baik lembaga politik, elite politik, maupun rakyat. Pembagian insentif tersebut tecermin dalam kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak yang dirumuskan dan dijalankan secara transparan dan akuntabel. Pembagian insentif tersebut penting untuk menjaga keadilan dan keyakinan rakyat bahwa demokrasi adalah sistem yang dapat menyelesaikan masalah-masalah konkret.
Demokrasi yang produktif tidak hanya menitikberatkan pada kelengkapan institusi dan mekanisme yang diperlukan untuk membangun tatanan politik demokratis, tetapi juga memfokuskan diri pada pencapaian demokrasi itu sendiri, yaitu kesejahteraan rakyat.
Mewujudkan demokrasi yang produktif dapat menjadi cara untuk membayar janji kebangsaan kita. Dengan penekanan pada tujuan demokrasi, kehidupan politik Indonesia akan terhindar dari kebisingan yang jauh dari kepentingan rakyat dan malah mengasingkan dinamika politik dari imajinasi dan denyut kehidupan rakyat. Lembaga-lembaga politik serta elite politik ditantang untuk membangun pertautan antara proses politik dan tercapainya kesejahteraan rakyat. Inilah tantangan kita semua: mewujudkan demokrasi yang produktif untuk membayar janji
Anas Urbaningrum Ketua Umum DPP Partai Demokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar