Kompas, Sabtu, 2 Oktober 2010 | 04:00 WIB
KOMPAS/SRI REJEKI
Rumah adat Minahasa berjajar di sepanjang tepi jalan di Desa Woloan, Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, awal Juni lalu. Desa ini menjadi pusat pembuatan rumah adat Minahasa. Rumah itu, selain dipesan warga, juga dipesan untuk dibawa ke Jakarta atau luar negeri dengan harga mulai dari Rp 50 juta hingga ratusan juta rupiah, tergantung dari luas rumah.
Aswin Rizal Harahap dan A Ponco Anggoro
”Tak apa-apa kalah nasi, asal jangan kalah aksi; Sitou timou tumou tou; Torang samua basudara”. Tiga untaian kalimat ini sangat akrab di telinga masyarakat Sulawesi Utara. Ungkapan itu mencerminkan guyubnya warga dari Minahasa hingga ke Kepulauan Sangihe dan Talaud. Wujud kebersamaan yang cukup menonjol tampak pada aktivitas mapalus. Kegiatan yang mirip dengan gotong royong ini masih dilakukan warga di Desa Kilometer 3, Kecamatan Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, sekitar 50 kilometer dari Kota Manado. Beberapa kelompok tani di desa itu membangun rumah atau menggarap kebun secara bersama-sama dalam suatu sistem kerja.
Di bawah terik sinar Matahari, mereka bekerja tanpa pamrih. Pemilik rumah atau kebun cukup menyediakan air putih dan makan siang untuk mereka. Warga bahu-membahu mencari kayu dari pohon kelapa yang tersebar di kawasan Amurang untuk membuat rumah panggung. Mereka menebang pohon yang sudah tua, membelahnya menjadi beberapa bagian, dan menyerut kulitnya hingga halus.
Pekerjaan dilakukan sesuai dengan tugasnya masing-masing. Begitu pula ketika menggarap lahan. Mereka bersama- sama membersihkan lahan dari ilalang atau tanaman-tanaman pengganggu. Lahan yang sudah bersih dicangkul agar siap ditanami bibit pohon kelapa, jagung, ataupun cabai, yang selama ini menjadi komoditas utama di Minahasa Selatan.
Setelah pekerjaan membangun rumah atau menggarap kebun selesai, warga yang tergabung dalam kelompok tani melanjutkan mapalus di tempat lain. Dalam mapalus, anggota kelompok tani terikat untuk saling membantu. Warga yang telah memiliki rumah atau tergarap kebunnya pada kesempatan lain wajib membantu sesama anggota.
Sayangnya, budaya mapalus perlahan-lahan mulai tergusur. Masuknya beberapa orang kaya baru yang membeli tanah di Kecamatan Amurang mengubah pola pikir masyarakat. Mereka lebih tergiur dengan iming- iming upah menggarap lahan sebesar Rp 50.000 per hari dari sang pemilik tanah akibat desakan ekonomi.
Tuntutan menyekolahkan kedua anaknya di bangku SMP dan SD membuat Jimmy Agustinus (37), warga Desa Kilometer 3, tak kuasa menampik godaan itu. Ia terpaksa menyambi sebagai kuli penggarap lahan karena menyadari betapa sulitnya menggantungkan penghasilan dari kopra yang harga jualnya tidak menentu.
Dari lahan seluas 3 hektar warisan orangtuanya, Jimmy memperoleh tiga karung kopra atau sekitar 210 kilogram setiap panen tiga bulanan. Dengan harga kopra Rp 6.150 per kg saat ini, mestinya Jimmy memperoleh Rp 1.291.500. Namun, ia hanya memperoleh setengah dari nominal itu karena harus berbagi dengan petani penggarap.
Jefri Wawengkang (38), salah seorang warga, bahkan telah beralih profesi menjadi kuli bangunan sejak tahun lalu ketika harga kopra anjlok hingga Rp 2.800 per kg. Profesi baru itu tentu lebih menjanjikan mengingat upah kuli bangunan di Sulawesi Utara saat ini sebesar Rp 80.000-Rp 90.000 per hari.
Melacak pada anekdot tokoh pahlawan nasional Sam Ratulangi, nilai yang terkandung dalam mapalus pada dasarnya relevan dengan falsafah hidup tumou tou.
Ketika Sam Ratulangi muda hendak merantau ke Jakarta tahun 1907, falsafah yang berarti ”memanusiakan manusia” itulah yang disampaikan ayahnya, Jozias Ratulangi. Sang ayah berpesan agar Ratulangi mengamalkan ilmu yang diperoleh kepada orang lain.
Setamat di Koningeen Wilhelmina School di Jakarta, Ratulangi melanjutkan pendidikan di Vrije Universiteit van Amsterdam, Belanda. Kepiawaian dalam bergaul membuat Ratulangi disegani mahasiswa Indonesia lainnya. Ia pun dipercaya menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda tahun 1914. Lima tahun berselang, Ratulangi memperoleh gelar doktor di bidang matematika dan fisika.
Keinginan memperbaiki mutu pendidikan di Tanah Air mendorongnya untuk pulang kampung. Namun, ia terkejut ketika melihat persaudaraan di kalangan warga Minahasa mulai mengendur akibat terseret kepentingan kolonial dan gerakan nasional.
Saat berbicara dalam pertemuan ibu-ibu Maupu-upusan di Desa Tumpaan, Minahasa Selatan, ia menyempurnakan falsafah Tumou tou menjadi Sitou timou tumou tou. Artinya, manusia hidup untuk memuliakan manusia yang lain.
Nilai yang ditanamkan gubernur Sulawesi pertama itu ternyata cukup efektif mendorong perkembangan pendidikan di Sulut. Pada periode 1960- 1970-an, Kota Tomohon sempat menjadi pusat pendidikan dengan munculnya sekolah guru, seminari, dan perguruan tinggi, termasuk Universitas Kristen Indonesia Tomohon tahun 1964.
Pesatnya perkembangan pendidikan di Sulut juga tidak lepas dari sikap para leluhur. Kesadaran dan tradisi intelektual ternyata telah dikenal sejak abad VII. Dalam musyawarah besar antara pemimpin atau wailan suku Tombulu, Tontemboan, dan Tontumaratas (subsuku yang kini menjadi Minahasa), mereka sepakat seseorang harus menjalani pendidikan sebelum ditetapkan menjadi wailan.
Seorang calon wailan harus mengikuti pendidikan lisan yang disebut papendangan. Papendangan yang diberikan oleh pemimpin agama dan pengetahuan umum itu, antara lain, berisi tentang pamanuan (kenegaraan), manguma (pertanian), mangasu (perburuan), wawantian (adat istiadat), dan tumani (cara mendirikan desa baru). Seseorang dianggap sah menjadi walian jika mampu memperagakan semua itu secara cakap dalam suatu ujian.
Tingginya kesadaran warga Sulut terhadap pendidikan, menurut sejarawan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, Fendy Parengkuan, pernah merepotkan pemerintah kolonial Belanda ketika itu. Dua penginjil asal Jerman, Riedel dan Schwarz, yang berusaha mengajarkan agama Kristen pada abad XVII terpaksa dilakukan melalui pendidikan sekolah karena permintaan masyarakat. ”Orang Sulut saat itu lebih menginginkan pendidikannya ketimbang agamanya,” kata Fendy Parengkuan.
Kedua penginjil itu pun mengubah tata hidup masyarakat dengan mengajarkan anak laki-laki sopan santun serta cara berpakaian yang bersih dan rapi.
Adapun pendidikan untuk anak perempuan ditekankan pada keterampilan, seperti menjahit, merenda, menyetrika, dan membersihkan perabot rumah tangga. Setelah menguasai keterampilan tersebut dengan baik, barulah mereka diajarkan menulis, membaca, dan berhitung.
Begitu pula yang dilakukan Riedel dan Schwarz terhadap para pemuda. Remaja yang telah cakap menulis, membaca, dan berhitung dipercaya menjadi guru bagi anak-anak.
Setelah kegiatan belajar- mengajar berlangsung beberapa tahun, Belanda membangun sekolah perawat pertama di Manado tahun 1675.
Sejak itulah kegiatan mendirikan sekolah menjadi agenda utama Belanda guna mendukung perkembangan pendidikan di Sulut.
Dalam buku Etnik Minahasa terbitan Pustaka Sinar Harapan (2002), Julius Pontororing menggambarkan pesatnya pembangunan sekolah di Sulut pada abad XIX. Pada periode 1825- 1835, Belanda membangun sedikitnya 11 sekolah di sejumlah daerah di Sulut, antara lain Manado, Kema, Tanawangko, Amurang, Likupang, Langowan, dan Paniki Wawa’.
Belanda juga sempat membangun Sekolah Pendidikan Guru Kristen di Tomohon (sekitar 25 kilometer arah selatan Kota Manado) tahun 1886.
Sulut akhirnya menjadi pusat pendidikan terkemuka di Tanah Air. Kala itu, sedikitnya 10.000 siswa telah mengenyam pendidikan di 150 sekolah menjelang abad XX.
Bandingkan dengan jumlah sekolah di Pulau Jawa yang saat itu berjumlah tidak lebih dari 30 (itu pun terpusat di Batavia).
Selain merekrut warga menjadi karyawan di kantor pemerintah, Belanda juga mengirim mereka ke sejumlah daerah untuk mengajar.
Masa itulah Sulut dikenal sebagai pencetak guru, pegawai negeri, dan tentara ke pelosok Nusantara. Tenaga terdidik tersebut menjawab masalah kekurangan sumber daya manusia berkualitas di daerah lain, khususnya kawasan timur Indonesia.
Sayangnya, warisan nilai itu tidak seiring sejalan dengan perkembangan zaman. Paling tidak hal ini tampak pada kian menyusutnya jumlah peminat Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sam Ratulangi dalam lima tahun terakhir.
Menurut dosen Sejarah Universitas Sam Ratulangi, Ivan RB Kaunang, hanya lima mahasiswa yang memilih Jurusan Ilmu Sejarah dalam penerimaan mahasiswa baru belum lama ini.
”Rendahnya minat mempelajari sejarah juga dipengaruhi minimnya muatan lokal di sekolah. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah mengingat generasi muda saat ini semakin tidak mengenal bahasa ibu mereka,” tutur Kaunang.
Rupanya, capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulut yang menempati urutan kedua nasional setelah DKI Jakarta tahun 2008 tidak berjalan seiring dengan fakta empirik.
Situasi ini mirip seperti yang digundahkan Ratulangi sewaktu pulang kampung, 26 tahun sebelum Merah Putih berkibar di bumi Nyiur Melambai itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar