Sabtu, 16 April 2011

Metamorfosis Partai Politik

Kompas, Sabtu, 26 Juni 2010 | 03:27 WIB
Oleh Salahuddin Wahid
Munas Partai Keadilan Sejahtera 2010 memutuskan membuka diri bagi pengurus non-Muslim. Walau merupakan penegasan sikap yang diambil di Denpasar 2008, sikap itu tetap menarik perhatian karena dilakukan melalui perubahan AD/ART.
Tanggapan terhadap sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu beragam. Di dalam kalangan PKS ada yang menolak, ada yang menerima. Di luar PKS ada yang menganggap strategi itu tepat, ada juga yang menganggapnya sebagai langkah kontraproduktif. Akan lebih banyak jumlah mereka yang meninggalkan PKS dibandingkan dengan pemilih baru.
Ada yang menilai langkah itu hanya basa-basi demi meningkatkan perolehan suara, bukan perubahan yang bersifat ideologis. Sejarah akan menilai apakah langkah tersebut sungguh-sungguh dan jitu, atau pura-pura dan keliru.
Aspek keagamaan
Para pengamat berpendapat bahwa PKS melakukan transformasi dari partai (paling) kanan menjadi partai tengah. Perubahan itu membuat partai paling kanan saat ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai paling kiri adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Yang dianggap partai (paling) tengah adalah Partai Golkar dan Partai Demokrat. Seberapa benar penilaian itu dan apa dasarnya dapat dilakukan terhadap dua aspek: sikap terhadap aspirasi keagamaan (Islam) dan kebijakan ekonomi.
Tipologi partai besar berdasarkan Pemilu 1955 menunjukkan adanya partai Islam (Masyumi dan NU), partai nasionalis (PNI), dan partai Marxis (PKI). Perbedaan antara partai itu tampak jelas dan disebut politik aliran. Dalam konstituante, partai-partai Islam menghendaki negara berdasarkan Islam, partai nasionalis mendukung negara berdasarkan Pancasila, dan PKI mendukung Pancasila sebagai taktik.
Dalam masalah kebijakan ekonomi, semua partai mendukung kebijakan Bung Karno yang antimodal asing, terutama PKI yang sangat mendukung keterlibatan penuh negara dalam kegiatan ekonomi. PKI aktif mendorong nasionalisasi perusahaan milik pihak Belanda dan Inggris.
Dalam era Orde Baru, sepuluh partai yang ada dikurangi menjadi tiga dengan PPP sebagai representasi Islam (kanan), PDI sebagai representasi pengikut Bung Karno (kiri), dan Golkar sebagai partai tengah. Menyikapi RUU Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan hukum Islam, PPP tegas menolak. Soeharto menerima usul para ulama di bawah pimpinan Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri yang menghendaki UU Perkawinan mengakomodasi ketentuan syariat Islam.
Hanya PDI yang menolak UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan itu. Kita melihat kini tak ada yang menentang keberadaan UU itu, tetapi masih ada suatu hal yang menjadi masalah: apakah pelaku poligami tanpa izin istri pertama harus dihukum? Apakah nikah siri harus dilarang? Partai yang mungkin menentang nikah siri tampaknya hanya PDI-P. Apakah PDI-P dapat dianggap sebagai partai kiri dalam masalah ini dan partai lainnya disebut partai tengah? Atau sebaliknya, PDI-P adalah partai tengah dan partai lain adalah partai kanan?
Semua partai mendukung UU Pornografi, kecuali PDI-P dan Partai Damai Sejahtera. Apakah bisa dianggap bahwa kedua partai itu adalah partai kiri dan yang lain adalah partai tengah? Menyikapi adanya peraturan daerah yang mengandung ketentuan syariat Islam, ternyata bahwa banyak anggota DPRD dari Partai Golkar sebagai pengambil prakarsa. Dapat kita anggap bahwa dalam masalah ini Partai Golkar adalah partai kanan.
Aspek ekonomi
Dalam kebijakan ekonomi, tampaknya semua partai adalah partai kanan. Tidak ada partai tengah, apalagi partai kiri. Indikasinya adalah persetujuan terhadap UU Penanaman Modal Asing yang menyetujui hak guna usaha pihak investor luar negeri selama 90 tahun. UU Sumber Daya Air tahun 2004 yang kurang memihak petani dan UU yang merupakan liberalisasi tata niaga migas adalah indikasi lainnya.
Banyak kebijakan ekonomi yang kurang memihak rakyat, tetapi tak ada partai yang menyerang kebijakan itu. Janji pemerintah tentang ”reforma agraria” untuk para petani tidak ditagih secara serius oleh DPR. Berarti dalam masalah ekonomi, dapat dianggap semua partai adalah partai kanan, termasuk PDI-P. Kebijakan ekonomi Presiden Megawati Soekarnoputri tak banyak berbeda dengan kebijakan sekarang. Boediono sebagai menteri keuangan dengan izin Megawati menjual BCA yang merugikan negara puluhan triliun atas tekanan IMF.
Dalam tataran DPRD, kebijakan kebanyakan kepala daerah dalam penggusuran pedagang tradisional yang jelas tidak memihak rakyat kecil juga didukung oleh semua partai. Gubernur DKI termasuk yang paling tak memihak rakyat dalam kebijakan perpasaran. Semua partai didalam DPRD DKI mendukungnya, jeritan para pedagang tradisional tak mereka dengarkan. Jadi, mereka adalah partai kanan. Perkecualian adalah Wali Kota Solo Jokowi (PDI-P) yang berhasil meremajakan pasar tradisional tanpa menggusur pedagang. Dia sabar berunding dengan para pedagang sampai 50 kali sehingga mencapai kesepakatan. Di DPRD Solo, semua partai adalah partai kiri.
Dari uraian singkat itu, kita melihat bahwa tak mudah memberi label partai kiri, partai tengah, atau partai kanan. Kepartaian di Indonesia sedang mengalami proses metamorfosa menuju bentuk dan tipologi baru. Penerimaan Pancasila oleh NU dan ormas serta orpol Islam telah mengubah secara radikal tipologi partai berdasarkan hasil Pemilu 1955. Suara warga Partai NU dan Masyumi sudah mencair dan tersebar ke banyak partai. Suara PNI tersalur ke PDI-P. Suara warga PKI tidak jelas tersalur ke mana.
Proses penyederhanaan partai dengan menaikkan ambang batas suara dari 2,5 persen menjadi 5 persen (2014) dan mungkin menjadi 7,5 persen (2019) akan mempercepat dan memengaruhi proses metamorfosa itu. PKS yang dianggap sebagai partai yang militan dan kuat garis komandonya tampaknya juga tak bisa menghindari proses metamorfosa itu.
Partai Golkar yang pada era Orde Baru amat kuat masih bisa bertahan, tetapi cenderung menurun. Partai Demokrat yang terlalu mengandalkan tokoh SBY masih harus membuktikan diri sebagai bukan partai musiman. Kalau kelompok dalam PKB tak bisa bersatu, mungkin PKB tak bisa menembus batas minimal itu. DPP PAN yang kini ada oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan tak punya dasar hukum dan bertentangan dengan hukum. Kondisi ini juga berpotensi negatif bagi PAN untuk bisa menembus batas minimal 5 persen.
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar: