KEHIDUPAN
VALENT HARTADI
Sekumpulan anak yang bermain angklung ini bukan anak Indonesia. Mereka adalah generasi ketiga dan keempat warga China yang harus keluar dari Indonesia karena Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959. Walaupun telah meninggalkan Indonesia puluhan tahun, mereka tetap cinta Indonesia dan bertekad untuk melestarikan budaya Indonesia untuk merekatkan persahabatan antara China dan Indonesia.
Letak kota kecil bernama Yingde (baca: Ingte) ini kira-kira 140 kilometer dari Guangzhou. Untuk mencapainya harus melewati jalan tol yang pemandangan kiri-kanannya mengingatkan pada Jalan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang. Dengan lewat jalan tol, Yingde bisa ditempuh dalam waktu sekitar dua jam.
Dulu, kalau mau ke Yingde, sebelum ada tol, perjalanannya sangat sulit dan butuh waktu lebih dari lima jam dari Guangzhou. Yingde adalah kota kecil setara kecamatan. Di sana terdapat kebun teh yang terkenal milik pemerintah, yakni perkebunan teh Yinghua. Pekerja di kebun teh Yinghua memang warga negara China. Mereka berbicara dengan bahasa China. Tetapi ketika mereka berbicara, terselip secara samar aksen-aksen yang jelas bukan asli China. Kadang kala juga muncul kata-kata yang jelas bukan kosakata China.
Pekerja kebun teh Yinghua memang orang China, tetapi mereka bukan kelahiran China. Mereka lahir di India, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan tentu juga dari Indonesia. Pekerja kebun teh yang berasal dari Indonesia adalah orang China yang harus meninggalkan Indonesia karena terkena Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959. Peraturan itu melarang orang China menetap di tingkat kecamatan.
Alhasil, orang China yang berada di seluruh kecamatan harus keluar dari kecamatan.
Bagi mereka yang memiliki keluarga di kabupaten, mereka bisa menumpang di sana dan memulai hidup baru di kabupaten atau kota. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki siapa-siapa, mereka harus keluar dari Indonesia. Sebagian besar dari mereka terpaksa kembali ke China daratan walaupun mereka merasa asing dengan China. Sebagian besar dari mereka adalah generasi ketiga. Kakek merekalah yang lahir di China lalu bermigrasi ke Indonesia. Dengan ”pengusiran” itu, mereka merasa seperti bukan orang China dan juga bukan orang Indonesia.
Ketika mereka sampai di China, sekitar tahun 1960-an, mereka ditempatkan oleh Pemerintah China di Yingde. Ternyata Yingde adalah tempat penampungan bagi orang China yang terusir dari negara tempat kelahiran mereka. Sedikitnya orang yang ditampung di sana berasal dari 26 negara berbeda. ”Ketika itu ada sekitar 10.000 pengungsi di sana. Rata-rata mereka keluar dari negara kelahiran mereka karena gejolak politik dan perang yang terjadi di negara kelahiran,” kata Gunawan Chen (71), Ketua Perkumpulan Perantauan Yinghua, saat ditemui di Yingde, 20 Januari lalu.
Hidup di perkebunan yang kondisi iklimnya sangat berbeda dengan Indonesia tentu saja bukan hal mudah. Jika musim dingin, mereka merasa sangat kedinginan. Jika musim panas, panasnya bukan kepalang. ”Tiga tahun pertama adalah masa-masa yang paling menyulitkan. Setiap orang tentu pernah merasa lapar, tetapi kelaparan tidak semua orang merasakan. Tiga tahun itu kami kelaparan semua,” kenang Gunawan yang tercatat sebagai alumnus SMA Aloysius, Semarang.
Setiap hari mereka makan dari pemberian jatah negara. ”Makanannya hanya ada ubi. Tidak ada minyak goreng saat itu, jadi semua yang kami makan adalah rebus-rebusan,” kata Wu Jien Nam (70) yang berasal dari Aceh.
Mereka tinggal di kampung-kampung yang dikenal sebagai Kampung Jawa, Kampung Aceh, Kampung Vietnam, Kampung India, Kampung Malaysia, dan sebagainya. Kekerabatan di antara mereka tetap terjalin erat untuk saling menguatkan.
Walaupun hidup susah, mereka mengaku masih bisa menolong banyak orang.
”Waktu itu banyak sekali bayi-bayi yang dibuang di jalan atau di semak-semak. Ini karena adanya peraturan yang hanya memperbolehkan satu keluarga satu anak. Kira-kira ada 100 bayi yang diangkat anak oleh kami yang berasal dari Indonesia,” kata Wu.
Semua kesulitan-kesulitan itu mereka jalani dengan kesabaran. Kini mereka mengaku sudah hidup enak. Dengan pensiun sebesar 1.000 yuan atau sekitar Rp 1,3 juta per bulan, mereka sudah merasa cukup. Anak-anak mereka pun sudah besar dan sudah bekerja.
Walau telah 50 tahun tinggal di Yingde, ternyata jiwa mereka masih merasa sebagai orang Indonesia. Tidak ada dendam di hati mereka kepada Pemerintah Indonesia. ”Itu bagian dari sejarah hidup. Tidak ada yang perlu disesali. Indonesia tetap berada di hati kami,” kata Gunawan dengan tersenyum.
Bukti mereka masih sangat mencintai Indonesia adalah mereka tetap berbahasa Indonesia kepada anak cucu mereka. Memasak makanan Indonesia, dan yang lebih hebat lagi, mengajarkan anak cucu mereka tarian dan lagu-lagu Indonesia. Bahkan, bermain angklung sudah menjadi kebiasaan anak-anak generasi ketiga mereka.
Ketika Kompas berkunjung ke desa mereka, para remaja putri mempersembahkan tarian Lenggang Nyai Betawi, seudati dari Aceh, dan tari-tari kreasi dari berbagai daerah Nusantara. Lalu mereka juga menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa dengan angklung. Mereka tampil dengan sangat antusias walaupun sore itu mereka kedinginan karena suhu menunjukkan nol derajat celsius, sementara angin terus-menerus berembus.
”Inilah kegiatan kami saat ini, terus berusaha mempromosikan budaya Indonesia agar terjalin persahabatan antara China dan Indonesia,” kata Huang Hui Lan, yang juga berasal dari Aceh. Huanglah yang merintis, mengelola, dan mengatur Sanggar Seni Budaya Sukarelawan ini. Bahkan, putri bungsu Huang, Zheng Ying, sekarang sedang berada di Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia dan sekaligus belajar menari di Solo.
Huang sendiri kini mampu berbicara bahasa Jawa karena hampir setiap hari dia dikeliling oleh orang-orang yang bercakap-cakap dengan bahasa Jawa. ”Saya belajar bahasa Jawa justru di sini. Almarhum suami saya orang Semarang. Pak Gunawan orang Sukoharjo. Istri Pak Gunawan orang Madiun,” kata Huang sambil tertawa.
Apa yang dilakukan mereka ini, menurut Huang, juga karena didukung oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), yang ketika itu dijabat oleh Harimawan Sujitno. Hingga kini, KJRI terus mendukung kegiatan mereka dengan mengirimkan pelatih tari, memberikan angklung dan juga kostum-kostum untuk menari.
Dengan dukungan KJRI, mereka sekarang terkenal seantero China. Mereka sering diundang untuk tampil pada acara-acara persahabatan yang berkaitan dengan Indonesia. ”Sebulan bisa tiga-empat kali tampil, keliling China,” kata Huang yang hari itu baru pulang dari Beijing.
Mereka juga sempat tampil di depan Jusuf Kalla yang berkunjung ke China saat beliau menjabat Wakil Presiden. Peristiwa itu sangat membekas dalam diri mereka dan menjadi kebanggaan mereka. ”Indonesia masih tetap di hati kami. Kami selalu rindu untuk kembali ke sana,” kata Gunawan. (ARN)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/02/04122869/orang-orang.indonesia.yang.terusir.ke.china
Tidak ada komentar:
Posting Komentar