Sabtu, 30 April 2011

Spirit Kapitalistik dari Ruang Keluarga

BAMBANG SETIAWAN
Tak berbatas waktu, nilai-nilai tradisi leluhur tetap mengalir, diturunkan secara turun-temurun hingga generasi muda peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia saat ini. Benih-benih nilai tradisi itu, yang mungkin saja berasal dari ajaran-ajaran Konghucu (551-479 SM), seolah menemukan lahan yang subur untuk tetap hidup, justru ketika tekanan politik mengimpit mereka ke dalam ruang ketakutan.
Karakter yang muncul pada kelompok etnik Tionghoa di Indonesia merupakan perpaduan antara ajaran-ajaran leluhur dan situasi sosial politik yang dihadapi sebelumnya. Hidup dalam sorotan tajam pemerintah dan masyarakat membuat mereka harus mengamankan diri dengan memanfaatkan peluang sebaik mungkin. Penumpukan modal dengan bekerja keras dan hemat menjadi pilihan untuk mengatasi rasa tidak aman yang sering kali muncul.

”Mereka mau kerja mati-matian, mau ulet, mau dagang, mau untung banyak karena merasa tidak aman. Karena takut ada ketidakstabilan politik. Jika ada perubahan peraturan, ia sudah simpan banyak. Jadi, mumpung ada untung, ya ambil untung dulu,” ungkap Ketua Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia Jawa Timur Edwin Suryalaksana (62).
Meskipun masa kelam kebebasan mulai sirna sejak tokoh pluralis Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI, karakter yang muncul dari Tionghoa keturunan generasi kedua dan ketiga ini adalah perwujudan dari situasi sulit pada masa-masa sebelumnya, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Tekanan politik dan perasaan sebagai minoritas turut memicu munculnya sebuah kelompok etnik dengan karakter ulet dan sigap mengambil peluang. Tertutupnya kebebasan politik membuat energi mereka tersublimasi ke dalam bidang ekonomi dan penguatan tradisi leluhur, sekaligus membuat ajaran- ajaran orangtua dalam keluarga menjadi bagian yang sangat penting dalam membentuk kepribadian. Dibandingkan dengan agama dan pendidikan di sekolah, rata-rata (63 persen) kalangan Tionghoa yang diwawancarai secara mendalam mengemukakan pentingnya nilai-nilai yang mereka dapatkan dari orangtua mereka, yang berpengaruh besar terhadap sikap dan kepribadian mereka saat ini.
”Ajaran Konghucu yang paling mendasar itu menghargai guru dan orangtua. Kalau kita menghargai orangtua serta menghargai guru dan nasihat-nasihat positifnya, hidup kita terarah,” kata Iwan Gunawan (48), pengusaha percetakan di Kota Singkawang.
Konghucu atau Konfusius memang tercatat mengajarkan untuk taat kepada orangtua, ”Jangan pernah tidak taat.” (Literatur Lengkap Ajaran Konfusius Jilid 1, Lucky Publisher, 2002).
Kerja keras dan hemat
Kerja keras dan hemat menjadi nilai utama yang diwariskan orangtua, yang hingga kini dipertahankan dalam dunia kerja. ”Kalau enggak bisa hemat, meskipun rajin dan ulet, Anda tidak akan berhasil,” kata Lie Pai Chiao, pendiri salah satu yayasan bahasa Mandarin di Jakarta.
Kepercayaan yang dibangun setahap demi setahap dalam menjalankan usaha harus dibarengi dengan sikap hemat agar usaha dapat berkembang. ”Irit. Dagang apa pun kuncinya irit. Jadi, jangan ada yang terbuang sia-sia. Setiap waktu kita harus tahu apakah ada komponen dari produksi saya yang terlalu berlebih-lebihan, itu harus dikurangi. Irit bukan berarti kita mengurangi hak pembeli, irit itu dalam arti kita tekan sebisa mungkin biaya produksi,” papar Lim Jong Liang (62), warga Pontianak.
Selain itu, dorongan yang kuat pada kemandirian juga menjadi ciri yang melekat, yang pada akhirnya membentuk citra mereka sebagai kaum wirausaha. ”Yang paling fundamental itu ’kung’ pekerja atau karyawan. Pekerja atau karyawan dalam penulisan aksara China itu terkurung. Maknanya, seorang pekerja atau karyawan itu tidak pernah akan berhasil. Hasil dia, kebebasan dia tidak pernah melampaui dari kurungan (tuannya),” ujar Iwan Gunawan. Inilah tampaknya yang mendorong seorang keturunan Tionghoa berani mencoba memulai usaha sendiri. ”Di komunitas kami, berani mencoba adalah sikap yang sangat penting,” tutur Jong Liang.
Semangat kemandirian akan sulit diwujudkan jika tidak ada unsur lain, yaitu kejujuran dan menjaga kepercayaan. Oleh karena itu, didikan keras orangtua Tionghoa kepada anak-anaknya biasanya sangat menekankan kejujuran, selain kerja keras di dalam rumah mereka. ”Tidak ada modal, tetapi kalau dipercaya orang bisa berhasil,” kata Jong Liang. Hasil wawancara terstruktur Litbang Kompas terhadap 54 orang peranakan Tionghoa di Jakarta, Surabaya, Medan, Pontianak, dan Singkawang menunjukkan bahwa nilai paling penting yang ditekankan orangtua kepada mereka adalah kejujuran dan menjaga kepercayaan, selain keuletan.
Keinginan agar anak-anaknya bisa mandiri dan mencapai penghidupan yang lebih baik dari mereka menyebabkan pendidikan menjadi alat yang sangat ditekankan kaum peranakan Tionghoa kepada anak-anak mereka. ”Orangtua saya sering menekankan harus belajar. Saya lahir tahun 1946. Waktu itu masih gejolak (perang). Tetapi, di situ sudah ditanamkan harus sekolah… harus sekolah. Padahal, saya anak yang ke-10 dari 12 anak. Saya tuh di-push harus belajar. Padahal dulu ayah saya pendatang. Dia sendiri SD saja tidak tamat, tapi dia bisa ngerti tanamkan anak harus bisa belajar,” ungkap Oemar Witaryo (64), dokter di Medan.
Dengan bekal pendidikan, peluang usaha menjadi kian terbuka lebar bagi anak-anak Tionghoa. Meskipun ekonomi masih menjadi jurusan yang pada umumnya menarik minat kalangan Tionghoa, bidang-bidang lain seperti psikologi, hukum, teknik, hingga perhotelan pun telah diminati. Andy alias Kwan Liang Cun (23), asal Pontianak, misalnya, memasuki jurusan teknik sipil karena melihat peluang yang besar di Pontianak. ”Kota akan membutuhkan tenaga teknik sipil yang banyak karena kota dalam proses pembangunan besar-besaran,” kata Andy yang merasa sangat yakin dalam tiga tahun mendatang sudah bisa menjadi kontraktor.
Sikap optimistis tidak hanya tergambar pada diri Andy, tetapi juga pada 47 orang lain yang diwawancarai. Banyaknya peluang yang mereka dapat baca dan kondisi ekonomi yang mereka nilai membaik, menumbuhkan obsesi yang lebih tinggi terhadap pekerjaan mereka mendatang. Sebanyak 89 persen responden masih memiliki obsesi untuk dapat meraih kesuksesan yang lebih tinggi dari yang sudah diraih saat ini. Semangat kapitalistik China, sebagaimana diungkapkan oleh Max Weber dalam The Religion of China (1951), tampaknya menemukan gambarannya di sini, lewat pendidikan dan praktik sehari-hari, khususnya di dalam keluarga.
(Litbang Kompas)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/02/04161123/spirit.kapitalistik.dari.ruang.keluarga

Tidak ada komentar: