Sabtu, 30 April 2011

Penjaga Warisan Budaya Sumba

Hendrik Pali Hamapaty

Kompas, Sabtu, 11 Desember 2010 | 02:51 WIB

KORNELIS KEWA AMA
Sanggar Seni Oriangu pimpinan Hendrik Pali Hamapaty tak asing bagi warga Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Di sanggar itu, para pejabat, mahasiswa, dan pelajar dari Sumba ataupun luar Sumba, termasuk turis asing, dapat melihat dan mempelajari beberapa seni tradisi lokal Sumba yang masih tersisa.
Sumba terkenal dengan budaya dan tradisi lokalnya. Kepercayaan agama asli Marapu memperkaya khazanah budaya dan tradisi itu. Namun, seiring perkembangan zaman dan masuknya agama baru, perlahan-lahan budaya dan tradisi lokal mulai ditinggalkan masyarakatnya. Hal yang konkret adalah punahnya sejumlah tarian daerah, musik, cerita rakyat, ataupun Marapu sebagai kepercayaan asli Sumba.

Literatur tari tradisional Sumba menyebutkan, ada lebih dari 100 tarian lokal yang menggambarkan kepercayaan kepada Tuhan agama asli Marapu, kehidupan warga, keadilan, kejujuran, pesta panen, dan pesta perkawinan. Namun, sebagian besar tarian itu sudah terlupakan, hanya 22 tarian yang masih bisa ditarikan.
Dari 22 tarian tradisional itu pun 18 di antaranya nyaris hilang. Tarian itu, antara lain, Kabokang (tarian untuk menghormati raja agar selalu jujur dan adil memimpin), Mapandamu (tarian mewujudkan rasa syukur atas kelahiran anak), Kandingan (tarian syukur pada pesta panen), Patanjangung (tarian syukur atas panen perdana), dan Panapang banu (tarian melamar gadis).
Ada juga tarian Ningguharana yang dibawakan pria dan perempuan untuk menyambut pahlawan yang pulang dari peperangan. Kini, tarian itu dibawakan saat menjemput para peserta pasola yang baru pulang dari pertarungan (permainan melempar tongkat kayu sambil menunggang kuda).
Tim Ekspedisi Jejak Peradaban Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ke Pulau Sumba bertemu dengan Hendrik Pali Hamapaty yang prihatin dengan punahnya sejumlah budaya dan tradisi lokal Sumba. Hendrik menilai, budaya dan tradisi Sumba memiliki pesan kuat bagi kehidupan persaudaraan, kebersamaan, kehidupan sosial, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Itu yang memotivasi dia mendirikan Sanggar Oriangu.
Terinspirasi Yogyakarta
Hendrik, pemilik sanggar dan pelestari seni budaya tradisional Sumba ini, terinspirasi kegiatan para seniman di Yogyakarta. Di kota itu, seni bisa menghidupi senimannya. Sementara di daerah seperti Sumba, seniman harus berjuang dan bersusah payah menghidupi keluarganya. Ini belum termasuk mendapatkan dana untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi yang sudah dan terancam punah.
”Sepulang dari Yogya tahun 1980, setelah menekuni seni tari di sanggar milik Bagong Sutrisnadi, saya mulai menyosialisasikan tarian-tarian itu di sekolah-sekolah. Kini, hampir semua sekolah dasar dan menengah di Sumba belajar tarian di sanggar ini. Para guru pun belajar tarian untuk melatih para siswa. Bahkan, tarian-tarian yang hampir punah bisa masuk dalam muatan lokal sekolah dasar dan menengah,” katanya.
Sanggar Oriangu pun penuh sesak menjelang 17 Agustus, saat para siswa dan guru menyiapkan diri untuk lomba tarian tradisional. Setiap kelompok harus diajari tarian berbeda dengan modifikasi berbeda pula. Ada tarian berisikan kepahlawanan, pendidikan, keadilan, pengorbanan guru, kehidupan petani di sawah, kejujuran, dan kehidupan sosial.
Tarian yang terancam punah pun kembali populer. Pemerintah kabupaten setempat juga kerap meminta Hendrik menyajikan sejumlah tarian khas Sumba bersama peserta didiknya untuk menyambut kedatangan tamu atau pelantikan pejabat.
Hendrik mengaku sekali pentas dibayar Rp 500.000-Rp 2,5 juta. Jika mereka tampil di hadapan turis asing, bayarannya bisa sampai Rp 5 juta sekali tampil. Uang itu langsung dia bagikan kepada peserta didik yang umumnya anak putus sekolah dan lulusan sekolah menengah yang belum mendapat pekerjaan.
Kalau tak ada permintaan pentas, latihan rutin tetap dilaksanakan setiap Sabtu dan Minggu. Tujuannya agar anak-anak tak berkeliaran di jalanan pada malam Minggu atau hari libur.
Sebanyak 50 anak didik angkatan pertama (1982-1985) sudah menyebar ke sejumlah kecamatan dan desa untuk melatih sekaligus mempelajari dan mengkreasi tarian yang ada. Dari penyebaran anak didik Hendrik ke desa-desa itu, didapatkan lima tarian baru yang belum ditampilkan karena masih perlu dipelajari asal usul dan arti setiap gerakannya.
Sanggar serba guna
Hampir 10 angkatan telah belajar di sanggar ini. Oriangu sudah menjadi pusat pembelajaran siswa sekolah dasar dan menengah. Sejumlah sekolah di pedalaman Sumba pun datang ke Sanggar Oriangu untuk belajar tari tradisional.
”Sanggar ini saya bangun atas dukungan dana dari para biarawati Katolik di Denpasar senilai Rp 40 juta. Tujuan awalnya untuk pelestarian tari tradisional dan pelatihan tenun ikat Sumba. Tetapi kemudian berkembang menjadi sanggar serba guna,” ceritanya.
Dinas Tenaga Kerja Sumba Timur pun sering mengirimkan orang untuk mengikuti pelatihan tenun ikat di sanggar ini. Mereka umumnya lulusan sekolah menengah dan sekolah dasar. Oleh karena keterbatasan ruangan, fasilitas pendukung, dan tenaga, Sanggar Oriangu fokus pada kegiatan tarian, musik lokal, dan sastra lisan yang dipercaya bersifat mistis-magis.
Alat musik yang ditekuni Hendrik, antara lain, gong dan tambur yang masih umum digunakan. Keterbatasan tenaga dan dana membuat ia kesulitan mendalami sejumlah alat musik yang telah punah.
”Saya sedang mencari alat musik jungga yang masih tersimpan di desa-desa. Saya butuh orang khusus untuk memainkan alat musik ini. Kalau ada pemainnya, kami akan mengumpulkan generasi muda di sanggar untuk berlatih dan mementaskan jungga di hadapan para turis, pejabat daerah, dan masyarakat luas,” katanya.
Menurut Hendrik, awal 1990-an terdapat 57 sanggar. Namun, keterbatasan dana dan tidak adanya dukungan dari masyarakat mengakibatkan sanggar-sanggar itu tutup.
”Saya bertahan dengan kemampuan amat terbatas. Saya ingin Sumba tetap memiliki semangat kebudayaan asli. Jangan sampai budaya lokal Sumba punah dan yang ada hanya budaya impor. Hal ini mulai terasa sekarang,” kata Hendrik.

Tidak ada komentar: