Kompas, Senin, 6 Desember 2010 | 04:10 WIB
Garin Nugroho
Elite politik telah kehilangan rasa krisis terhadap masalah pokok masyarakat sehari-hari. Mereka berkomunikasi untuk melindungi citra dan kepentingan kekuasaan sendiri.”Maka yang muncul adalah beragam kontradiksi dan klarifikasi yang melahirkan kekacauan panduan komunikasi berbangsa serta surutnya kepercayaan warga kepada elite politik. Lebih jauh lagi, debat politik semakin seru, namun peran politik pada publik semakin surut.”
Komentar di atas, muncul dari seorang guru SMA, dalam seminar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Meski diucapkan tiga bulan lalu, maknanya begitu mengena dalam kasus-kasus komunikasi politik yang terjadi belakangan ini.
Sebutlah pencanangan pemberantasan korupsi oleh Presiden SBY. Ketika muncul kasus Gayus yang kemudian mengungkapkan kasus-kasus pengemplangan pajak di pengadilan, tidak ada aparat yang menindaklanjutinya. Maka, meski Presiden SBY telah melakoni jabatan selama dua periode, pemberantasan korupsi bisa dikatakan jalan di tempat.
Ketika terjadi bencana letusan Gunung Merapi, SBY pun langsung menggelar rapat koordinasi penanggulangan bencana di Yogyakarta. Namun, hanya berselang waktu yang sangat pendek terjadi unjuk rasa para lurah menuntut hak politik sekaligus dana penanggulangan bencana. Di mana hasil rapat koordinasinya?
Alhasil, masyarakat semakin kebingungan melihat begitu kontradiktifnya janji-janji Presiden dengan kenyataan di lapangan. Gesekan politik terjadi hingga wilayah birokrasi desa, sesuatu yang langka terjadi dalam politik di Indonesia sebelumnya.
Contoh terakhir tentu saja adalah pernyataan Presiden dan klarifikasinya tentang keistimewaan Yogyakarta. Apa pun penjelasannya, yang pasti rakyat Yogyakarta dan sekitarnya masih berduka terkena bencana. Alih-alih mewujudkan janji-janji yang sudah ditebar kepada para korban, pemerintah justru membuat pernyataan tak perlu yang mencederai perasaan rakyat.
Ternyata kekuatan dan kepandaian berpolitik yang sudah mendapat mandat rakyat tidak ditumbuhkembangkan menjadi rasa krisis terhadap persoalan pokok bangsa. Justru yang muncul kepandaian melindungi citra serta kepentingan kekuasaan dan elite itu sendiri.
Kualitas rasa krisis
Rasa krisis adalah oasis kemanusiaan seorang negarawan atas dasar kemampuan membaca krisis yang terjadi di masyarakat. Para filsuf mengatakan, rasa krisis adalah kegelisahan kenabian kepemimpinan, yang di dalamnya mengandung budaya malu dan budaya tanggung jawab, yang dituntun oleh aulia dengan mengorbankan diri lewat kerja. Dengan demikian, rasa krisis adalah pegas kerja politik untuk pelayanan publik, bukan politik untuk kekuasaan itu sendiri.
Oleh karena itu, ukuran rasa krisis bagi kemampuan komunikasi dan kerja politik elite politik senantiasa diukur dengan tiga perspektif yang menghidupi sebuah bangsa, yaitu aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Kenyataan menunjukkan, ukuran rasa krisis elite politik di Indonesia sering kali hanya berkutat dalam perspektif yuridis monolitik dan sepihak.
Contoh yang paling sering muncul adalah anggota DPR bersikeras melakukan studi banding meski sudah dikritik sana-sini, anggota DPR yang masih saja merasa kurang dan meminta kenaikan gaji dengan dalih undang-undang memperbolehkan. Sangat sedikit anggota DPR yang mau berintrospeksi dan berempati terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Hal lain yang juga memprihatinkan adalah ketidakhadiran pemerintah justru ketika sebagian rakyatnya dianiaya. Sudah berulang kali terjadi pembiaran terhadap penghakiman massa oleh kelompok agama atau organisasi kemasyarakatan terhadap kelompok minoritas.
Pembiaran semacam ini sesungguhnya adalah barometer kemampuan elite politik dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, apalagi menghidupi kebinekaan sebagai filosofi.
Masyarakat mafhum, elite politik gamang serta tidak cukup punya kewaskitaan mengelola beragam jenis modal yang mendukung kekuasaannya. Bisa diduga, jalan pintasnya adalah melindungi kekuasaan yang sudah menjadi tujuan sebagian elite politik pascareformasi. Sebaliknya, rasa krisis terhadap daya hidup aspek filosofi, yuridis, dan sosiologis kebinekaan sebagai modal berbangsa, menghilang.
Pada akhirnya rasa krisis elite politik hanya tumbuh untuk mempertahankan kekuasaan dan citranya. Dampaknya bisa diduga, komunikasi politik yang muncul kehilangan panduan ataupun empati terhadap kesusahan warga. Yang terjadi justru komunikasi ala opera sabun. Maka rating berita pun tumbuh tinggi karena penuh debat ala drama opera sabun, mampu menarik perhatian, namun tidak menumbuhkan akal sehat.
Tidak ada yang malu meski para elite politik ini mengeluarkan pernyataan-pernyataan tanpa dasar dan jadi guyonan rakyat. Simaklah bagaimana seorang wakil rakyat, anggota Partai Demokrat, yang demi menghindari citra buruk kinerja pemerintahan, nekat berbicara bahwa kasus kekerasan terhadap tenaga kerja lebih dikaitkan pada kualitas pengirim tenaga kerja dan kualitas komunikasi tenaga kerja.
Belum lagi anggota Partai Demokrat lain, yang sibuk mengkritik dan minta masyarakat Yogyakarta untuk tidak berlebihan bereaksi terhadap pernyataan Presiden soal keistimewaan Yogyakarta. Padahal, yang bersangkutan juga orang Yogya dan punya gelar kebangsawanan yang menunjukkan keistimewaan khas Yogyakarta.
Politik anekdot
Menurut pakar antropologi politik, tinggi rendahnya rasa krisis elite politik bisa dikaji lewat menjamurnya beragam anekdot, olok-olok, seloroh, dan pelesetan, baik kata maupun gambar, terhadap sebuah kasus politik beserta tokoh-tokohnya.
Semakin rendah rasa krisis elite politik terhadap persoalan pokok masyarakat, semakin menjamur dunia anekdot politik di masyarakat. Bisa disimpulkan, betapa rendahnya rasa krisis itu karena anekdot, olok-olok, guyonan, dan pelesetan terus bermunculan belakangan ini.
Para pengguna perangkat komunikasi modern tentu sudah pernah menerima kiriman gambar Gayus lengkap dengan berbagai bentuk wig atau gambar SBY yang dimirip-miripkan Gayus. Terakhir terkait dengan kasus Yogyakarta, muncul paspor Ngayogyokarto Hadiningrat bergambar simbol keraton.
Tumbuh suburnya anekdot politik dalam kehidupan sehari- hari ini menunjukkan bahwa betapa rakyat telah jenuh terhadap rendahnya rasa krisis elite politik. Ketika sebagian elite politik pascareformasi tanpa rasa krisis hidup dalam kekuasaan dan bergelimang fasilitas, rakyat yang terus didera kemalangan hanya bisa bertahan dan menghibur diri dengan mengolok-olok pare elite politik itu.
Kelihatannya ”hukuman” ini memang tidak bisa dirasakan oleh mereka yang diolok-olok. Namun, apabila para penguasa tersebut tidak juga peduli dan tidak mengasah rasa krisisnya, suatu saat nanti mandat yang sudah diserahkan itu akan diambil kembali oleh rakyat.
Sejarah panjang bangsa ini sudah membuktikannya.
Garin Nugroho Pengamat Komunikasi Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar