Rakyat Mendang Kamulan sangat bersukacita. Mereka telah bebas dari keangkaramurkaan. Maka Ajisaka diangkat menjadi Raja Mendang Kamulan, bergelar Prabu Ajisaka. Prabu Ajisaka memerintah dengan adil dan bijaksana. Sang prabu juga berusaha agar rakyatnya menjadi pandai. Rayat diajari bercocok tanam, membuat saluran air, membangun gedung, memajukan perdagangan, mengembangkan pelayaran, dan berbagai ilmu pengetahuan lain. Lebih daripada itu, di Mendang Kamulan tidak ada lagi kesewenang-wenangan. Rakyat hidup aman dan tentram. Sebelum keadaan menjadi demikian, Kerajaan itu diperintah oleh Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang amatlah lalim. Yang sangat mengerikan adalah bahwa Prabu Dewatacengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari, patih Mendang Kamulan harus menyediakan seorang manusia untuk menjadi santapan Sang Prabu.
Rakyat Mendang Kamulan sangat menderita. Kehidupan mereka memang masih terbelakang. Mereka belum mengenal ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka belum mengenal huruf.
Tersebutlah seorang pengembara dari negeri seberang, bernama Ajisaka. Ia datang ke Pulau Jawa, bermaksud menyebarkan pengetahuan. Berita mengenai kelaliman Prabu Dewatacengkar telah sampai pula ke negeri seberang. Karena itu, Ajisaka bermaksud pula untuk menolong rakyat Mendang Kamulan dari kesewenang-wenangan rajanya.
Setelah tiba di Mendang Kamulan, Ajisaka ingin segera menghadap Prabu Dewatacengkar. Patih Mendang Kamulan mencegahnya. Ia merasa kasihan bahwa pemuda setampan itu akan mati menjadi santapan rajanya. Akan tetapi, Ajisaka berkeras hati untuk menghadap. Katanya, ”Paman patih tidak usah khawatir. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Agung melindungi kita semua. Lagi pula, bukankah sampai sesiang ini Paman belum menyajikan seseorang kepada Baginda?”
Ajisaka dibawa menghadap Prabu Dewatacengkar. Melihat seorang pemuda yang berbadan kekar, Sang Prabu sangat bergembira. Segera Sang Prabu turun dari singgasana dan menghapiri Ajisaka. Ketika Prabu Dewatacengkar akan mengangkat tubuhnya, Ajisaka berkata, ”sebelum Baginda menyantap hamba, perkenankanlah hamba mengajukan sebuah permintaan.”
”Katakan apa yang kamu minta,” sahut Sang Prabu dengan tidak sabar. Kemudian sambil menoleh ke arah patih, Sang Prabu berkata, ”Kamu akan mendapat hadiah, Paman Patih. Sudah lama aku tidak menyantap manusia semuda ini. Akhir-akhir ini hanya orang-orang tua yang kamu sajikan. Dagingnya sudah tak enak lagi.”
”Hamba mohon diberi sejengkal tanah,” kata Ajisaka.
”Untuk apa?” tanya Sang Prabu. ”Bukankah kamu akan segera mati?”
”Sepeninggal hamba, tanah itu ditempati oleh kerabat hamba. Dan lagi, tanah yang hamba minta tidak luas.”
”Apakah seluas alun-alun? Atau seluas desa?” Tanya Sang Prabu.
”Hanya seluas ikat kepala hamba,” jawab Ajisaka.
”Ha-ha-ha-ha-ha,” Prabu Dewatacengkar tertawa tergelak-gelak. Konon jika Prabu Dewatacengkar tertawa, suaranya akan menggelegar, seperti suara guruh. ”Seribu kali luas ikat kepalamu akan kuberi,” sambungnya.
Ajisaka mulai mengurai ikat kepalanya. Ia memegang salah satu ujungnya. Ujung yang lain dipegang oleh Prabu Dewatacengkar. Sang Prabu mundur selangkah demi selangkah untuk membentangkan ikat kepala itu. Terjadilah suatu keajaiban. Ikat kepala itu ternyata dapat membentang dan membentang, makin lama makin luas. Alun-alun kerajaan Mandang Kamulan tertutup oleh ikat kepala itu.
Ketika Prabu Dewatacengkar sudah mundur sampai di tepi pantai selatan, Ajisaka mengibaskan ikat kepalanya. Maka terceburlah sang prabu ke laut selatan dan menjelma menjadi seekor buaya putih mulai saat itu Ajisaka menggantikan jabatan Prabu di Mendang Kamulan
Kini ia menjadi seorang Prabu di Mendang Kamulan. Sampai pada suatu hari, Prabu Ajisaka ingat bahwa keris pusakanya tertinggal di Gunung Kendeng. Ingatannya melayang ke masa lalu, sebelum ia pergi ke kerajaan Mendang Kamulan.
Waktu itu ia pergi bersama dengan 2 orang pengiringnya, ialah Dora dan Sembada. Ajisaka ingin pergi ke Mendang Kamulan tanpa membawa senjata. Ia meminta Sembada untuk tinggal di daerah pegunungan Kendeng, dan menjaga keris pusakanya. Sedangkan Dora diperintahkan untuk mengikutinya. ”Kelak aku sendiri yang akan mengambil keris pusaka ini. Jangan sekali-kali kamu berikan kepada orang lain,” pesan Ajisaka. Sembada berjanji untuk menjunjung tinggi perintah itu.
Maka sekarang Dora diperintahkan untuk mengambil keris pusaka itu. Prabu Ajisaka berpesan, ”Katakan pada Sembada bahwa aku memerintahkan kamu menjemput kuris pusaka, dan mengajak Sembada menghadap ke Mendang Kamulan.
Sembada tidak bersedia menyerahkan keris itu. Katanya, ”Bukankah dulu Raden Ajisaka berjanji untuk mengambil sendiri keris pusaka ini? Aku juga mendapat pesan untuk tidak menyerahkan keris ini pada orang lain.”
”Memang benar,” ujar Dora. ”Tetapi pada saat ini baginda sedang sibuk. Banyak urusan kerajaaan yang harus diselesaikannya. Karena itu, akulah yang diutusnya. Aku mengemban tugas seorang raja.”
Sembada tetap tidak mau menyerahkan keris pusaka itu. Ini menyebabkan Dora menjadi marah. ”Ingat,” katanya ”Aku adalah duta baginda. Dan aku wajib menjalankan segala perintahnya.”
”Aku juga abdinya,” sahut Sembada. ”Aku pun wajib untuk menjalankan segala titahnya.”
Pertengkaran itu kemudian berkembang menjadi perkelahian. Bahkan akhirnya Dora maupun Sembada menggunakan senjata masing-masing. Keduanya sama-sama sakti. Setelah lama bertarung. Dora dan Sembada bersama-sama gugur. Tidak ada yang kalah , tidak ada yang menang.
Prabu Ajisaka yang telah lama menunggu-nunggu kedatangan kedua abdinya menjadi tidak sabar. Dengan pengiring secukupnya, Prabu Ajisaka menyusul ke lereng pegunungan Kendeng.
Menyaksikan kedua abdinya yang setia bersama-sama tewas, Prabu Ajisaka sangat sedih. Sang Prabu menyadari bahwa baik Dora maupun Sembada telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Dora benar, karena melaksanakan perntah raja. Sebaliknya, Sembada juga tidak salah, karena telah menjunjung tinggi pesannya. Prabu Ajisaka sendiri yang bersalah.
Untuk mengenang dan menghargai jasa kedua abdinya itu, Prabu Ajisaka menggubah sebuah sajak. Sajak itu dimaksudkan untuk mengenang kedua abdinya yang gugur dalam mengemban tugas. Beginilah bunyi sajak itu :
”hana caraka
data sawala
padha jayanya
maga bathanga”
yang dalam terjemahan harafiahnya lebih kurang :
”ada utusan
mereka bertengkar
sama-sama sakti
semua menjadi mayat”
Prabu Ajisaka memerintahkan rakyatnya menghafalkan saja itu. Dengan demikian kesetiaan Dora dan Sembada kepada tugas akan selalu dikenang. Demikian pula diharapkan agar rakyat Mendang Kamulan dan segenap keturunannya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Untuk setiap suku kata pada sajak itu, dibuatkan suatu tanda khusus. Ini kelak menjadi urut-urutan huruf yang kemudian dikenal sebagai huruf Jawa. Sampai saat ini, orang Jawa masih menggunakan huruf itu.
Kita dapat mengambil inti sari makna dari cerita di atas. Bahwa masyarakat Djawa memiliki sifat yang luhur, setia dan taat, serta rela berkorban mati-matian demi mengemban amanat. Satu lagi sifat masyarakat Djawa, masyarakat Djawa akan
Sumber : http://www.konek.co.cc/2011/04/asal-muasal-adanya-aksara-jawa.html
Rakyat Mendang Kamulan sangat menderita. Kehidupan mereka memang masih terbelakang. Mereka belum mengenal ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka belum mengenal huruf.
Tersebutlah seorang pengembara dari negeri seberang, bernama Ajisaka. Ia datang ke Pulau Jawa, bermaksud menyebarkan pengetahuan. Berita mengenai kelaliman Prabu Dewatacengkar telah sampai pula ke negeri seberang. Karena itu, Ajisaka bermaksud pula untuk menolong rakyat Mendang Kamulan dari kesewenang-wenangan rajanya.
Setelah tiba di Mendang Kamulan, Ajisaka ingin segera menghadap Prabu Dewatacengkar. Patih Mendang Kamulan mencegahnya. Ia merasa kasihan bahwa pemuda setampan itu akan mati menjadi santapan rajanya. Akan tetapi, Ajisaka berkeras hati untuk menghadap. Katanya, ”Paman patih tidak usah khawatir. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Agung melindungi kita semua. Lagi pula, bukankah sampai sesiang ini Paman belum menyajikan seseorang kepada Baginda?”
Ajisaka dibawa menghadap Prabu Dewatacengkar. Melihat seorang pemuda yang berbadan kekar, Sang Prabu sangat bergembira. Segera Sang Prabu turun dari singgasana dan menghapiri Ajisaka. Ketika Prabu Dewatacengkar akan mengangkat tubuhnya, Ajisaka berkata, ”sebelum Baginda menyantap hamba, perkenankanlah hamba mengajukan sebuah permintaan.”
”Katakan apa yang kamu minta,” sahut Sang Prabu dengan tidak sabar. Kemudian sambil menoleh ke arah patih, Sang Prabu berkata, ”Kamu akan mendapat hadiah, Paman Patih. Sudah lama aku tidak menyantap manusia semuda ini. Akhir-akhir ini hanya orang-orang tua yang kamu sajikan. Dagingnya sudah tak enak lagi.”
”Hamba mohon diberi sejengkal tanah,” kata Ajisaka.
”Untuk apa?” tanya Sang Prabu. ”Bukankah kamu akan segera mati?”
”Sepeninggal hamba, tanah itu ditempati oleh kerabat hamba. Dan lagi, tanah yang hamba minta tidak luas.”
”Apakah seluas alun-alun? Atau seluas desa?” Tanya Sang Prabu.
”Hanya seluas ikat kepala hamba,” jawab Ajisaka.
”Ha-ha-ha-ha-ha,” Prabu Dewatacengkar tertawa tergelak-gelak. Konon jika Prabu Dewatacengkar tertawa, suaranya akan menggelegar, seperti suara guruh. ”Seribu kali luas ikat kepalamu akan kuberi,” sambungnya.
Ajisaka mulai mengurai ikat kepalanya. Ia memegang salah satu ujungnya. Ujung yang lain dipegang oleh Prabu Dewatacengkar. Sang Prabu mundur selangkah demi selangkah untuk membentangkan ikat kepala itu. Terjadilah suatu keajaiban. Ikat kepala itu ternyata dapat membentang dan membentang, makin lama makin luas. Alun-alun kerajaan Mandang Kamulan tertutup oleh ikat kepala itu.
Ketika Prabu Dewatacengkar sudah mundur sampai di tepi pantai selatan, Ajisaka mengibaskan ikat kepalanya. Maka terceburlah sang prabu ke laut selatan dan menjelma menjadi seekor buaya putih mulai saat itu Ajisaka menggantikan jabatan Prabu di Mendang Kamulan
Kini ia menjadi seorang Prabu di Mendang Kamulan. Sampai pada suatu hari, Prabu Ajisaka ingat bahwa keris pusakanya tertinggal di Gunung Kendeng. Ingatannya melayang ke masa lalu, sebelum ia pergi ke kerajaan Mendang Kamulan.
Waktu itu ia pergi bersama dengan 2 orang pengiringnya, ialah Dora dan Sembada. Ajisaka ingin pergi ke Mendang Kamulan tanpa membawa senjata. Ia meminta Sembada untuk tinggal di daerah pegunungan Kendeng, dan menjaga keris pusakanya. Sedangkan Dora diperintahkan untuk mengikutinya. ”Kelak aku sendiri yang akan mengambil keris pusaka ini. Jangan sekali-kali kamu berikan kepada orang lain,” pesan Ajisaka. Sembada berjanji untuk menjunjung tinggi perintah itu.
Maka sekarang Dora diperintahkan untuk mengambil keris pusaka itu. Prabu Ajisaka berpesan, ”Katakan pada Sembada bahwa aku memerintahkan kamu menjemput kuris pusaka, dan mengajak Sembada menghadap ke Mendang Kamulan.
Sembada tidak bersedia menyerahkan keris itu. Katanya, ”Bukankah dulu Raden Ajisaka berjanji untuk mengambil sendiri keris pusaka ini? Aku juga mendapat pesan untuk tidak menyerahkan keris ini pada orang lain.”
”Memang benar,” ujar Dora. ”Tetapi pada saat ini baginda sedang sibuk. Banyak urusan kerajaaan yang harus diselesaikannya. Karena itu, akulah yang diutusnya. Aku mengemban tugas seorang raja.”
Sembada tetap tidak mau menyerahkan keris pusaka itu. Ini menyebabkan Dora menjadi marah. ”Ingat,” katanya ”Aku adalah duta baginda. Dan aku wajib menjalankan segala perintahnya.”
”Aku juga abdinya,” sahut Sembada. ”Aku pun wajib untuk menjalankan segala titahnya.”
Pertengkaran itu kemudian berkembang menjadi perkelahian. Bahkan akhirnya Dora maupun Sembada menggunakan senjata masing-masing. Keduanya sama-sama sakti. Setelah lama bertarung. Dora dan Sembada bersama-sama gugur. Tidak ada yang kalah , tidak ada yang menang.
Prabu Ajisaka yang telah lama menunggu-nunggu kedatangan kedua abdinya menjadi tidak sabar. Dengan pengiring secukupnya, Prabu Ajisaka menyusul ke lereng pegunungan Kendeng.
Menyaksikan kedua abdinya yang setia bersama-sama tewas, Prabu Ajisaka sangat sedih. Sang Prabu menyadari bahwa baik Dora maupun Sembada telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Dora benar, karena melaksanakan perntah raja. Sebaliknya, Sembada juga tidak salah, karena telah menjunjung tinggi pesannya. Prabu Ajisaka sendiri yang bersalah.
Untuk mengenang dan menghargai jasa kedua abdinya itu, Prabu Ajisaka menggubah sebuah sajak. Sajak itu dimaksudkan untuk mengenang kedua abdinya yang gugur dalam mengemban tugas. Beginilah bunyi sajak itu :
”hana caraka
data sawala
padha jayanya
maga bathanga”
yang dalam terjemahan harafiahnya lebih kurang :
”ada utusan
mereka bertengkar
sama-sama sakti
semua menjadi mayat”
Prabu Ajisaka memerintahkan rakyatnya menghafalkan saja itu. Dengan demikian kesetiaan Dora dan Sembada kepada tugas akan selalu dikenang. Demikian pula diharapkan agar rakyat Mendang Kamulan dan segenap keturunannya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Untuk setiap suku kata pada sajak itu, dibuatkan suatu tanda khusus. Ini kelak menjadi urut-urutan huruf yang kemudian dikenal sebagai huruf Jawa. Sampai saat ini, orang Jawa masih menggunakan huruf itu.
Kita dapat mengambil inti sari makna dari cerita di atas. Bahwa masyarakat Djawa memiliki sifat yang luhur, setia dan taat, serta rela berkorban mati-matian demi mengemban amanat. Satu lagi sifat masyarakat Djawa, masyarakat Djawa akan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar