Kompas Sabtu, 21 Agustus 2010 | 03:27 WIB
Hingga usia kemerdekaannya yang ke-65, kita masih sering mendengar bahwa Indonesia bagaikan raksasa tidur (the sleeping giant).
Asumsi dasarnya adalah kita punya sumber daya alam yang melimpah, wilayah yang sangat luas, jumlah penduduk yang besar, keanekaragaman yang mengagumkan, serta segenap potensi lain, yang sayangnya belum tergarap secara optimal. Indonesia adalah raksasa yang kehadirannya disadari sejak kemerdekaannya. Tetapi, ironisnya, ia adalah raksasa yang sedang dan masih tertidur, dan seolah-olah tak ada kepastian kapan ia terbangun dan menunjukkan gigi.
Indonesia hadir melalui suatu gerakan nasionalisme yang kokoh. Embrio nasionalisme itu setidaknya terlacak mengental di era pergerakan nasional pasca-1908, tertegaskan pada 1928, dan mencapai titik puncaknya pada 1945. Setelah itu, ujian demi ujian dihadapi oleh bangsa Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang oleh Bung Karno disebut sebagai ”jembatan emas” untuk mewujudkan cita-cita bangsa, merupakan momentum yang selalu dikenang dan direfleksikan secara simbolik.
Meskipun sudah merdeka, nation and character building kita masih terus berproses dan belum kunjung usai hingga kini. Substansi kemerdekaan terus mengalami perkembangan penafsiran secara teknis, bagaimana memaknai kemerdekaan itu dalam pembangunan di segala bidang. Sejak kemerdekaan berbagai formula dan titik tekan pembangunan telah dieksperimentasikan, dengan segala keberhasilan dan kegagalannya.
Pada era reformasi, pengalaman sejarah itu kita ringkas kembali ke dalam eksperimentasi-eksperimentasi demokrasi trial and error. Amandemen konstitusi merupakan pengalaman sejarah yang sedianya dimaksudkan untuk membangunkan sang raksasa tidur. Namun, fokus ke arah sana belumlah tercapai mengingat amandemen masih diwarnai dengan pasal-pasal ”kepentingan jangka pendek” yang kontraproduktif.
Eksperimentasi demokrasi politik terus dilakukan walaupun tak serta-merta membuat proses politik kita efektif. Demokrasi langsung secara filosofis sangat bagus karena dalam prosesnya melibatkan peran serta rakyat secara langsung dalam memilih para pemimpin politik mereka sehingga legitimasi yang terpilih sangat kuat. Namun, ia tak lepas dari segenap eksesnya. Praktik demokrasi politik kita saat ini masih banyak memprihatinkan dan perlu dibenahi.
Demokrasi (langsung) memang merupakan modal dasar bagi implementasi paradigma pembangunan yang demokratis. Tetapi, jalannya selalu dibayang-bayangi oleh anarki karena tergerusnya modal sosial (social capital). Demokrasi tidak salah. Hanya eksesnya itu yang harus dicegah agar kita tidak terjebak sebagai bangsa ulat, yang tak kunjung kepompong dan apalagi kupu-kupu.
Kita gunakan analogi ulat, kepompong, kupu-kupu dalam konteks refleksi kemerdekaan Indonesia karena bertepatan dengan bulan Ramadhan. Proklamasi 17 Agustus 1945 pun bertepatan dengan Ramadhan. Dalam konteks ibadah Ramadhan, kearifan tradisional kita menjelaskan bahwa untuk mencapai derajat ketakwaan (kupu-kupu), kita harus menghilangkan sifat dan karakter ulat dalam diri kita, dan memasuki fase kepompong, suatu fase penyucian jiwa.
Budayawan Emha Ainun Nadjib menyebut Ramadhan sebagai proses peragian menuju kematangan jiwa. Muaranya adalah pencerahan, keindahan, sebagai pancaran dari puncak ketakwaan. Fase kepompong adalah fase peragian menuju kematangan jiwa atau spiritual itu. Nah, dalam konteks Indonesia, agar raksasa itu bangkit, kita harus mau masuk ke fase kepompong atau peragian itu.
Namun, syaratnya, prosesnya harus ”sempurna” sebab manakala tidak, kita akan susah mengepompong, tetapi cenderung masih terus mengulat. Atau, manakala tidak serius, yang terjadi adalah setengah ulat setengah kepompong. Proses peragian yang tidak sempurna tidak memungkinkan hasil akhirnya terasa manis, melainkan kecut atau masam. Dibutuhkan suatu keprihatinan, kesabaran, keuletan, dan kecanggihan berproses transformatif dari mentalitas lama ke mentalitas baru, dan itu tak hanya dilakukan oleh rakyat saja, tetapi yang lebih wajib adalah para elite pemimpinnya.
Tak mengepompong?
Adapun nikmat kemerdekaan yang kita rasakan tak lepas dari keprihatinan dan perjuangan yang nyata dari segenap elemen bangsa. Mereka mengalami fase kepompong yang sempurna sebelum akhirnya mewujud sebagai kupu-kupu. Tetapi, ingat bahwa metamorfosis akan selalu berjalan sedemikian rupa sebagai suatu siklus. Kita yang sudah jadi kupu-kupu terjatuh lagi sebagai ulat dan seterusnya.
Dinamika sejarah bangsa diwarnai oleh peristiwa jatuh-bangun. Tentu saja ia meninggalkan sejumlah pelajaran yang sangat berharga. Sejarah masa lalu adalah catatan berharga bagi kita saat ini untuk merenda sejarah masa depan. Apabila kita ingin betul-betul sebagai suatu raksasa yang bangkit dan berpengaruh, mentalitas kita harus benar-benar siap mengepompong.
Sayang sekali ekspresi menjadi ”bangsa kepompong” itu masih diwarnai oleh tampilan mereka yang secara ekspresif mempertunjukkan watak ulat. Merajalelanya korupsi, mengecambahnya praktik politik uang, meluasnya kerusakan lingkungan, ”membudayanya” kekerasan atas nama agama atau atas sentimen primordial, hingga berbagai atraksi kerakusan ekonomi dan politik-kekuasaan, ketidakadilan yang jelas di depan mata, dan perilaku- perilaku destruktif lain membuat kita tak kunjung mengepompong.
Inilah yang membuat bangsa ini masih jalan di tempat, kalau bukan mundur ke belakang. Saat untuk jalan ke depan tersandera untuk masih dominannya perwatakan-perwatakan ulat atas bangsa kita. Kalau kita tetap berbaik sangka dengan apa yang disebut budayawan Mochtar Lubis sebagai ”manusia Indonesia”, perlulah kita menoleh pada sistem. Intinya, bagaimana sistem berbangsa kita berkonsolidasi mengarah sebagai ”bangsa kepompong”, suatu bangsa yang belajar sungguh- sungguh, dan mempersiapkan diri secara fisik dan mental untuk maju.
Dalam bidang politik, mengepompong berarti terutama siap memperkokoh konsolidasi demokrasi. Dalam bidang ekonomi, mempersiapkan strategi optimalisasi sumber daya menuju kemandirian. Dalam bidang hukum, harus ada kepastian akan keadilan. Dalam bidang sosial budaya, harus jadi bangsa yang solider dan berintegritas. Dalam bidang pertahanan dan keamanan, harus kuat dan efektif. Semua itu dibingkai ke dalam suatu sistem yang efektif, bukan atas dasar aturan yang tambal sulam, yang sekadar menuruti kemauan kepentingan jangka pendek kalangan politisi an sich.
M ALFAN ALFIAN Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar