Kompas, Jumat, 20 Agustus 2010 | 03:08 WIB
Mohammad Fajrul Falaakh
Pada awalnya, Pasal 7 UUD 1945 menentukan, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.Penjelasan pasal ini menyatakan ”cukup jelas”. Berarti akhiran ”nya” merujuk kepada masa jabatan lima tahun pertama sehingga masa jabatan berikutnya hanya lima tahun. Ternyata eksperimentasi politik atas UUD 1945 menggunakan berbagai tafsiran.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pernah mengangkat Ir Soekarno sebagai presiden seumur hidup (Ketetapan No III/MPRS/1963). Para soekarnois tak kuasa membendung godaan kekuasaan ini. Namun, tafsir dan praktik ini dibatalkan oleh Ketetapan No XVIII/MPRS/1966.
Presiden Soekarno justru dimakzulkan dari jabatan kepresidenan (Ketetapan No XXXIII/MPRS/1967) dan Menteri Panglima AD Letjen Soeharto diangkat sebagai Pejabat Sementara Presiden RI (jo Ketetapan No IX/MPRS/1966 dan Ketetapan No XV/MPRS/1966). Ia kemudian dikukuhkan sebagai Presiden RI (Ketetapan No XLIV/MPRS/1968) hingga terbentuk MPR hasil Pemilihan Umum 1971.
Sejak Sidang Umum MPR tahun 1973 (Ketetapan No IX/MPR/1973), Jenderal Soeharto terus-menerus diangkat sebagai presiden, praktis tanpa pemilihan karena selalu calon tunggal, terakhir oleh Sidang Umum MPR pada Maret 1997. Jadi, praktik ketatanegaraan tidak membatasi berapa kali masa jabatan kepresidenan. Klausul ”sesudahnya” dapat dipilih kembali sebagai presiden telah berhasil ditundukkan pada bekerjanya mesin pemilu dan kendali kekuasaan di MPR.
Era reformasi
Gerakan reformasi akhirnya berhasil mendesak Presiden Soeharto untuk berhenti pada 21 Mei 1998 atau 72 hari setelah diangkat MPR menjadi presiden untuk ketujuh kali (1998-2003). Maka, Sidang Istimewa MPR, November 1998, berhasil mengubah tafsir dan praktik ketatanegaraan itu dengan Ketetapan No XIII/MPR/1998.
Satu-satunya pasal dalam ketetapan ini menegaskan, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. MPR pada masa Presiden BJ Habibie berisi Golkar, Utusan Golongan, TNI/Polri, Utusan Daerah, PDI, dan PPP.
Isi ketetapan ini dikutip Badan Pekerja MPR sebagai bahan amandemen konstitusi untuk menggantikan rumusan Pasal 7 UUD 1945. MPR hasil Pemilu 1999 menuangkannya dalam Perubahan Pertama UUD 1945 (19 Oktober 1999). MPR berisi banyak partai reformasi, Utusan Golongan, TNI/Polri, dan Utusan Daerah.
Jadi, masa jabatan presiden ditentukan selama lima tahun dan periode jabatannya paling lama dua kali (Pasal 7 UUD 1945, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”). Ketentuan ini lebih memastikan salah satu ciri sistem presidensial, yaitu masa jabatan yang tetap (fixed term) dan terbatas (limited tenure). Ini juga merupakan rekayasa konstitusi (constitutional engineering) bagi pergantian presiden secara berkala.
Periode jabatan kepresidenan ini dapat bermakna berturut-turut maupun tidak berturut-turut seperti di beberapa negara Amerika Latin. Di Indonesia ketentuan ini berlaku pertama kali terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terpilih pada Pemilihan Presiden 2004 dan 2009.
SBY saat ini menjalani periode jabatan terakhir (kedua). Tetapi Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengusulkan perubahan batas periode jabatan. Ia menggagas perpanjangan masa jabatan SBY. Tidak mengejutkan. Sebetulnya sejak tahun 2009 telah bergulir seloroh politik serupa di Jakarta.
Otoritarianisme
Untuk damage control, SBY segera menepis spekulasi yang dipicu gagasan tersebut. Ia menegaskan tak akan mencalonkan kembali sebagai presiden dan akan mengakhiri jabatannya pada Oktober 2014. Ketua Umum Partai Demokrat menggarisbawahi sikap itu. Sekjen Partai Demokrat juga menegaskan, di internal partai tidak ada pembicaraan mengenai perpanjangan periode jabatan kepresidenan SBY.
Pihak Partai Demokrat tentu sadar, kekuatannya di MPR kurang dari sepertiga jumlah anggota dan tak cukup untuk menggulirkan amandemen konstitusi. Komunikasi politik tampaknya tak terjadi dengan partai-partai dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi, yang terbukti juga menolak gagasan itu. Padahal, nantinya, kuorum persidangan MPR hanya tercapai kalau suara Setgab Koalisi utuh.
Jadi, pernyataan Ruhut lebih meneguhkan ketidakterlibatannya dalam gerakan membatasi periode jabatan kepresidenan. Sebagai orang baru di parlemen, komitmen dan sikap Ruhut tentu berbeda dari para pembuat Ketetapan No XIII/MPR/1998 dan Perubahan Pertama UUD 1945. Kedua dokumen politik dan hukum ini telah dihasilkan oleh proses ketatanegaraan yang panjang, hampir seusia penerapan UUD 1945. Mengkhawatirkan kalau di lingkungan Partai Demokrat dan mayoritas politikus pendatang baru di Senayan berjangkit sikap serupa.
Para analis perbandingan politik menyatakan, hanya sekitar seperempat negara dengan sistem parlementer yang terjerumus ke dalam otoritarianisme dan hampir dua pertiga negara dengan pemerintahan presidensial mengalami nasib serupa. Indonesia pernah masuk kategori kedua semasa Orde Baru dan mengakibatkan alih generasi kepemimpinan politik tersumbat. Kini konstitusi mengatur pergantian presiden secara berkala, sesuatu yang sehat bagi kepemimpinan politik nasional.
Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar