Senin, 09 Mei 2011

HAM Kita

Oleh F Budi Hardiman

Di tengah-tengah ingar-bingar demokratisasi politis dan globalisasi ekonomis di dalam masyarakat kita, ada realitas pahit yang dibiarkan kelu oleh gilasan waktu. Sejak proklamasi republik ini, rezim berganti rezim, tetapi lebih dari setengah abad itu masih sangat banyak manusia di dalam republik ini yang tak diperlakukan sebagai manusia.
Di negeri ini hak-hak para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu masih diabaikan. Begitu juga penduduk miskin yang merupakan mayoritas di negeri ini masih banyak yang belum menikmati hak-hak ekonomis, sosial, dan kultural mereka. Hubungan antaragama pun ditandai pelanggaran hak berkeyakinan dan beribadat, manakala kelompok ekstrem agama menindas minoritas dan merusak tempat ibadah mereka. Di dalam demokrasi yang baru tumbuh di negeri ini pun tersua serangkaian kasus manipulasi suara dan pengabaian hak-hak politis warga.
Sulit jadi nilai kewargaan
Mengapa peradaban HAM yang merupakan wujud penghormatan atas kemanusiaan sulit menjadi nilai kewargaan di negeri kita? Lima kendala mental berikut mungkin dapat dipertimbangkan.
Pertama harus dikatakan bahwa istilah hak tak bersifat sentral dalam konsep kemanusiaan komunitarian seperti yang dimiliki masyarakat kita. Alih-alih hak, orang kita banyak bicara tentang kewajiban seperti kewajiban agama, kewajiban marga, kewajiban kantor, dan seterusnya. Hak lalu dianggap berangkat dari tradisi konflik dan individualisme Barat.
Orang mudah lupa bahwa persoalan sesungguhnya tak terletak pada kontradiksi antara individualisme atau bukan, antara tradisi konflik atau bukan, melainkan pada kenyataan mengerikan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu melakukan kekejaman sekaligus rentan menjadi korban kekejaman. Intensi HAM sebagai suatu hak adalah melindungi manusia tak hanya dari kekejaman orang lain, melainkan juga dari godaan bertindak kejam terhadap orang lain. Intensi itu tak ditangkap manakala orang larut dalam perdebatan ideologis.
Kedua, peradaban HAM mengandaikan antroposentrisme, pandangan bahwa manusia bertanggung jawab terhadap nasib dan sejarahnya sendiri. Kejahatan pelanggaran HAM dianggap sebagai kesalahan manusia yang bisa dituntut, bukan peristiwa alamiah belaka. Namun, dalam mentalitas kebanyakan orang kita, kekejaman dalam skala massal dilihat sebagai semacam bencana kolektif atau ”murka Tuhan” yang di dalamnya orang tak dapat menuntut tanggung jawab kepada siapa pun.
Kekejaman dilupakan, tak ada narasi tentangnya, dan lewat kelupaan atau bahkan penglupaan sejarah itu, kekejaman makin tampak sebagai peristiwa alamiah yang ”menimpa” bagai nasib buta. Kengerian yang terpantul dari gambar buruk diri kita sendiri buru-buru kita tutupi dengan sikap seolah-olah hal itu tak pernah terjadi. Sikap menipu diri seperti itu tak cocok dengan etos HAM yang menuntut pertanggungjawaban pelaku kekejaman-kekejaman itu demi tak terulangnya peristiwa negatif itu.
Ketiga, peradaban HAM tak tumbuh dalam ruang kosong, melainkan berkembang lewat praktik republikanisme. Seperti ditulis Arendt, ”pengalaman dasar republik adalah kebersamaan dengan sesama warga yang sama kuatnya”. Kita memang hidup dalam sebuah republik, tetapi pengalaman dasar republik itu belum kita alami, antara lain karena mentalitas bangsa jajahan dan infantilisasi oleh rezim otoriter selama tiga dasawarsa.
Pertarungan tak seimbang antara yang kuat dan yang lemah masih terjadi di berbagai bidang. Pihak yang kuat itu—pemegang otoritas dan pemilik modal—boleh bicara dalam ”bahasa hak-hak” dan memiliki semua hak yang mereka perlukan untuk hidup, sementara yang lemah dianggap tak pantas memiliki atau mengklaim haknya. Keadaan yang amat tak seimbang ini membuat individu condong berlindung di belakang kelompoknya, entah itu suku entah agama. Ia terhalang melampaui wawasan etnosentrisnya dan partisipasi politisnya sangat rendah.
Apakah globalisasi membantu? Globalisasi di satu pihak membantu sosialisasi HAM, tetapi di lain pihak memberi tantangan tersendiri karena globalisasi pasar juga memperparah krisis solidaritas warga. Dulu individu diperlakukan sebagai obyek kuasa, sekarang obyek pasar.
Keempat, praktik republikanisme yang baru saja kita bicarakan banyak ditentukan oleh jenis kepemimpinan yang membantu pertumbuhan peradaban HAM. Kepemimpinan yang cocok untuk peradaban HAM adalah yang mendasarkan praktik-praktik kenegaraan pada HAM dan terus menyempurnakan konstitusi agar makin sesuai dengan HAM. Immanuel Kant menyebut tipe ini ”politikus bermoral”.
Kita belum lama berpengalaman dengan jenis kepemimpinan ini karena praktis baru sejak era Reformasi mencoba mempraktikkannya. Yang lama bercokol dan berurat akar di negeri kita adalah kepemimpinan yang menyalahgunakan moral dan agama untuk keuntungan kekuasaannya sendiri dengan cara provokasi dan manipulasi massa. Tipe macam ini yang disebut Kant ”moralis politis” telah kita alami sepanjang Orde Baru dan masih bertahan dalam beberapa praktik politik identitas di daerah-daerah kita di era Reformasi ini.
Pihak-pihak yang mengacaukan intensi HAM dengan mengontroversikan konsep kemanusiaan komunitarian dan liberal termasuk dalam jenis moralis politis ini. Selama jenis kepemimpinan moralis politis ini diberi peluang untuk tumbuh, selama itu juga kejahatan-kejahatan pelanggaran HAM tetap tak tersentuh.
Kelima dan terakhir, peradaban HAM berkembang dalam dukungan agama karena agama mengandung intuisi kemanusiaan yang melampaui suku-suku dan bangsa meski tak melampaui kekhasan agama itu sendiri. Di Barat ajaran hukum kodrat, Naturrechtslehre, yang berasal dari filsafat bersinergi dengan ajaran tradisi Yudeo-Kristiani tentang manusia sebagai citra Allah, imago Dei.
Tentu sinergi itu terjadi sesudah pertarungan lama antara kekristenan dan modernitas yang tegangannya kadang masih terasa sampai dewasa ini.
Di Indonesia peradaban HAM sulit tumbuh karena kurangnya dukungan dari agama-agama untuk isu-isu HAM. Agama-agama di Indonesia kerap sibuk dengan ritualisme dan narsisisme atas kelompoknya. Mereka sangat sensitif dan artikulatif terhadap masalah kesusilaan, tapi anehnya menjadi bisu dan kelu terhadap isu-isu korupsi dan pelanggaran HAM. Tentu ada aktivis dari kelompok agama, tetapi itu hanya sebatas identitas personal. Dalam agama itu sendiri tidak terjadi hermeneutik transformasional yang pro-HAM sehingga seorang Muslim yang pro-HAM, misalnya, dianggap ”sekularis” atau ”anti-Islam” oleh komunitasnya.
Keadaan makin parah apabila semua ini disertai provokasi vulgar dari kelompok-kelompok ekstremis agama yang dibayar untuk mengacau republik ini. Kerangka pikir seperti ini sangat menghambat sosialisasi HAM. Jadi, selama agama-agama—khususnya para pemimpin mereka—tidak memasukkan penegakan HAM sebagai bagian kewajiban religius mereka, selama itu pula pertumbuhan peradaban HAM akan tetap terhambat seperti yang kita alami sampai sekarang.
Lewat keberanian
Kelima kendala di atas bukanlah kodrat-kodrat yang tak bisa diubah. Sejarah kemerdekaan republik kita membuktikan bahwa hal-hal yang semua tampak sebagai ”nasib” atau ”kodrat” dapat diubah lewat keberanian. Keutamaan politis ini juga sentral dalam sejarah HAM. Karena itu, kita seharusnya prihatin dengan fakta bahwa HAM masih dirasa asing bagi orang kita. Ada problem kelemahan kehendak yang bercokol di dalam para pemegang otoritas negeri ini dan publiknya. Bukankah defisit keberanianlah yang menjadi akar persoalannya?
F Budi Hardiman Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara, Jakarta
Sumber : Kompas, Kamis, 9 Desember 2010 | 05:33 WIB

Tidak ada komentar: