Kompas, Jumat, 26 November 2010 | 03:40 WIB
Oleh Syamsuddin Haris
Lembaga Ketahanan Nasional beberapa hari lalu menyelenggarakan diskusi penguatan peran gubernur selaku wakil pemerintah (pusat) di daerah. Haruskah sistem pemilihan gubernur diubah sebagai solusinya?Sudah menjadi rahasia umum para bupati dan wali kota hasil pemilihan kepala daerah acap kali mangkir dari undangan rapat- rapat koordinasi pembangunan yang diselenggarakan gubernur. Apalagi jika sang gubernur berasal dari partai politik yang berbeda dengan bupati atau wali kota.
Sebagian kepala daerah bahkan hanya mengirim pejabat setingkat sekretaris daerah atau sekretaris kota untuk mewakilinya. Realitas ini jelas merisaukan karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, selain posisi sebagai kepala daerah otonom di tingkat provinsi.
Namun, yang menarik, ketika agenda rapat terkait pembagian dana alokasi umum, para bupati dan wali kota berbondong-bondong hadir sendiri. Tampaknya para kepala daerah tersebut mau dikoordinasikan jika terkait dengan uang.
Karena itu, muncul pemikiran di kalangan pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri, untuk mengubah sistem pemilihan langsung gubernur menjadi tak langsung, entah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ataupun ditunjuk langsung oleh Presiden.
Amandemen Pasal 18
Karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, sebenarnya wajar saja jika muncul wacana perubahan sistem pemilihan gubernur. Presiden selaku kepala pemerintahan berhak menentukan pejabat yang pantas dan dianggap kompeten mewakilinya di daerah agar berbagai program pembangunan bisa efektif diimplementasikan di daerah.
Format lain adalah pemilihan gubernur oleh DPRD atas beberapa orang calon yang sebelumnya diajukan oleh Presiden. Hanya saja persoalannya, pemikiran tersebut cenderung bertabrakan dengan amanat konstitusi. Pasal 18 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa gubernur, seperti juga bupati dan wali kota, berkedudukan sebagai kepala daerah otonom.
Itu artinya, sistem pemilihan bagi gubernur harus berlaku sama dengan sistem pemilihan bupati dan wali kota. Melalui pilkada langsung, para gubernur, bupati, dan wali kota selaku kepala daerah otonom memperoleh mandat politik secara langsung dari rakyat.
Di sisi lain, tidak satu pun pasal atau ayat dalam konstitusi kita yang menyatakan bahwa gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Amanat demikian hanya muncul di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, wacana perubahan sistem pemilihan gubernur semestinya dirangkaikan dengan pemikiran tentang perlunya amandemen kembali atas Pasal 18, 18A, dan 18B konstitusi kita.
Solusi lain
Apabila amandemen kembali konstitusi dianggap sebagai agenda politik yang masih riskan untuk dilakukan, maka solusi lain yang bisa dilakukan adalah menata ulang format pemilihan umum di satu pihak dan sistem kepartaian di lain pihak agar terbentuk pemerintahan nasional- regional-lokal yang efektif dan saling bersinergi satu sama lain.
Dalam bahasa berbeda, upaya memperkuat peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak cukup hanya dengan mengutak-atik UU No 32/2004 yang tak pernah tuntas hingga saat ini. Para bupati dan wali kota yang mbalelo dan ”tidak patuh” kepada gubernur bagaimana pun harus dilihat sebagai produk sistem demokrasi kita, khususnya format pemilu dan sistem kepartaian.
Kecenderungan itu berakar pada fakta bahwa prosedur demokrasi kita menghasilkan kepala-kepala daerah yang hanya siap untuk berkuasa, tetapi belum tentu sanggup mengelola pemerintahan daerah secara benar. Karena itu, penataan ulang atas format pemilu-pemilu serta konsistensi atas pelembagaan sistem multipartai sederhana saya kira jauh lebih menjanjikan ketimbang sekadar mengubah sistem pemilihan gubernur.
Sudah waktunya dipikirkan agar pemilu-pemilu, termasuk pilkada, ditata ulang ke arah dua momentum pemilu saja dalam setiap lima tahun, yakni pemilu nasional pada waktu bersamaan yang mendahului pemilu lokal secara serentak pula yang dilaksanakan satu atau dua tahun kemudian.
Secara teoretis, sebagian besar parpol yang menang dalam pemilu nasional (memilih presiden, DPR, dan DPD) akan menang pula dalam pemilu lokal (memilih kepala-kepala daerah dan DPRD). Indikasinya sudah ada, yakni kepala-kepala daerah yang pindah ke Partai Demokrat, padahal diusung oleh parpol lain.
Selain itu, konsistensi atas pelembagaan sistem multipartai sederhana perlu dilakukan, antara lain dengan memberlakukan juga ambang batas parlemen di DPRD provinsi, kabupaten, dan kota. Dengan demikian, struktur politik di tingkat daerah diharapkan jauh lebih sederhana, tidak fragmentatif secara ekstrem seperti realitas DPRD-DPRD dewasa ini. Langkah lain menyederhanakan sistem kepartaian adalah memperkecil besaran daerah pemilihan dari yang berlaku pada Pemilu 2009 lalu.
Ada urusan
Jadi, mungkin berhentilah kita mengutak-atik UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai satu-satunya solusi memperkuat peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Akar masalahnya ada pada realitas fragmentasi struktur politik nasional-regional-lokal yang tidak saling sinergis satu sama lain. Kalau tidak, maka pengalaman pahit para gubernur akan terus berulang.
Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang, misalnya, pernah satu pesawat dengan salah seorang bupati dari daerahnya. Sang Gubernur duduk di kelas ekonomi, sedangkan bupati di kelas eksekutif. Ketika ditanya ke mana dan apa tujuannya ke Jakarta, dengan ringan dan tanpa rasa bersalah sang bupati berujar, ”Ada urusan Pak.”
Pemerintah dan DPR jelas perlu lebih serius memikirkan solusinya tanpa harus mengorbankan demokrasi yang telah diraih bangsa kita.
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar