Minggu, 01 Mei 2011

Merdeka Milik Siapa?


Kompas, Jumat, 20 Agustus 2010 | 03:13 WIB

Ikrar Nusa Bhakti
Judul yang penulis serap dari topik berita sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta ini sungguh menggelitik.
Tergambar dalam berita itu betapa ”manusia gerobak” berjejer di bilangan Pondok Indah, Jakarta. Gejala yang biasa terjadi saban Ramadhan! Mereka hidup susah di alam kemerdekaan yang kali ini rupanya sudah 65 tahun. Mereka juga masih menyimpan mimpi dapat hidup layak, tetapi tak kunjung jadi kenyataan.
Berita lain melaporkan masyarakat pada sebuah kampung nelayan di Sumatera Barat tak mau menaikkan bendera Merah Putih karena hidup mereka susah dan tak dapat perhatian pemerintah. Ada pula insiden di Manokwari, Papua Barat, saat pengibaran Merah Putih pada hari keramat 17 Agustus 2010: benderanya terbalik. Hanya insiden kecil memang, tetapi bikin kita menarik napas dalam-dalam.

Merdeka itu milik siapa? Seorang kawan seangkatan di FISIP UI mengirim pesan singkat melalui Blackberry: ”Rakyat yang merdeka hanya 5 persen karena menguasai sebagian besar kekayaan Indonesia, sementara yang 95 persen masih berjuang untuk merdeka!”
Kawan lain menimpali, ”Negaranya merdeka, tapi rakyatnya belum, kasihan deh!” ”Yang 5 persen itu...,” kata teman lain, ”tak ada lawan!” Kelompok kecil dalam masyarakat Indonesia ini karena kekuasaan politik dan uangnya lebih memiliki kebebasan dalam segala hal, apalagi penegakan hukum di negeri ini jalannya terseok-seok sehingga yang berlaku adalah uang berbicara untuk segalanya.
Yang ditulis teman itu masih sangat sopan! Puisi nakal yang dikirim mantan anggota DPR sungguh menyeramkan! Judulnya saja bikin bulu kuduk berdiri, ”Renungan Tragis di HUT RI Ke-65”: Negeri ini ’Negeri Para Bedebah..!’/Pejabat Negaranya menjarah Uang Rakyatnya, mereka maling-maling yang terlegitimasi secara politik sebab dipilih langsung oleh rakyat tapi tega menipu rakyatnya/Para Pejabat negara berlimpah kuasa dan harta di atas bangkai rakyatnya/ Mereka pemakan daging bangsanya yang berlumur darah dan nanah/Maka mereka harus dihukum langsung juga oleh rakyat.
Ada pula berita yang bikin penulis menitikkan air mata. Di perbatasan Indonesia-Papua Niugini, tepatnya di wilayah Skow yang berbatasan dengan Wutung, Papua Niugini, ratusan rakyat Papua memasang bendera Merah Putih raksasa seberat 500 kilogram, suatu momen historis yang amat mengharukan. Wilayah Skow-Arso-Waris, Kabupaten Kerom, dulu adalah wilayah rawan tempat Organisasi Papua Merdeka melakukan kegiatan sporadis menyerang pos-pos militer di perbatasan dan juga perkampungan transmigran.
Di Waris, dulu dikenal dengan sebutan Markas Victoria, Pemimpin Organisasi Papua Merdeka Zeth Rumkorem pernah memproklamasikan kemerdekaan Papua pada 1 Juli 1971. Sebagai anak bangsa yang melakukan studi mengenai perbatasan Indonesia-Papua Niugini sejak 1982 dan menghabiskan masa kanak- kanak di Biak, Papua, kejadian di Skow tersebut benar-benar menyentuh kalbu penulis.
Masihkah kita berdaulat?
Satu hal yang jadi tanda tanya besar bagi kita semua: meski telah merdeka 65 tahun, apakah negeri ini benar-benar berdaulat secara politik, ekonomi, dan sosial budaya? Kita tentu masih ingat pesan Bung Karno tentang ”Trisakti” yang mengingatkan rakyat agar Indonesia berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Terlepas dari berbagai kekurangannya, pada masa Orde Lama Bung Karno terus berusaha agar kekayaan alam Indonesia tak dijarah oleh asing, khususnya Amerika Serikat, sebelum anak- anak Indonesia mampu mengelolanya. Pada masa Presiden Soeharto (Orde Baru), meski negeri ini pernah berkiblat kepada Barat dan memberikan kesempatan kepada investor asing mengeruk kekayaan alam Indonesia, ada juga jiwa nasionalisme Pak Harto yang berani menyetop bantuan IGGI ketika Pemerintah Belanda mulai berani melakukan intervensi atas politik Indonesia. Soeharto pada masa akhir pemerintahannya juga menolak membeli pesawat tempur F-16 yang ditawarkan AS karena Indonesia menentang intervensi AS dalam politik Indonesia.
Penulis amat terperanjat ketika seorang peneliti Australia bertanya, ”Apa yang menyebabkan Indonesia menerima proposal Pemerintah Australia agar Indonesia menjadi tempat pemrosesan para pencari suaka atau ilegal imigran yang akan masuk ke Australia?” Jika benar Indonesia akan menjadi detention center bagi mereka yang akan masuk ke Australia, sungguh kita tak belajar dari kasus Galang yang dulu jadi tempat pemrosesan bagi pengungsi Indochina. Pertanyaan menggelitik pun muncul: karena Australia memberi bantuan saat tsunami di Aceh, Desember 2004, kepada Polri pasca-Bom Bali I Oktober 2002, dan kepada Presiden SBY ”Honorary Companion of the Order of Australia” saat berkunjung ke Australia awal 2010, lalu kita menuruti saja keinginan Australia?
Saat Megawati Soekarnoputri presiden, Indonesia menolak keinginan Australia agar menerima imigran ilegal yang berada di atas kapal Tampa. Jika negara sekecil Timor Leste saja berani menolak permintaan Australia menjadi tempat pemrosesan imigran ilegal, mengapa Indonesia mau?
Indonesia juga pernah menolak permintaan pemerintahan Presiden AS George W Bush agar Indonesia-AS menandatangani perjanjian investasi yang memuat klausul bahwa apabila perusahaan AS merugi akibat kebijakan ekonomi atau situasi politik di Indonesia, Pemerintah Indonesia wajib hukumnya mengganti rugi perusahaan AS itu. Pertanyaannya kemudian: mengapa saat Presiden Barack Obama berkuasa terdengar kabar Indonesia telah menandatangani perjanjian investasi itu? Padahal, kita tahu adanya asumsi bahwa hubungan internasional tak dilakukan atas dasar faktor hubungan pribadi antarpemimpin negaranya. Apakah faktor Presiden Obama atau ”The O Factor” yang akan mengunjungi Indonesia jadi dasar perubahan kebijakan Indonesia itu?
Ini belum termasuk keinginan AS menerapkan diplomasi ilmu pengetahuan terhadap Indonesia melalui perjanjian kerja sama berlabel ”demi kesejahteraan dan perdamaian dunia”, tetapi akan lebih menguntungkan AS sebab hingga kini AS menolak penerapan material transfer agreement di dalam perjanjian itu.
Aparat keamanan Malaysia yang mengawal para pencuri ikan di perairan Indonesia semakin menambah perih hati. Jadi, ”Merdeka Milik Siapa?” dan ”Masihkah Kita Berdaulat?”
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Tidak ada komentar: