Minggu, 01 Mei 2011

Perlunya Strategi, Tak Cuma Ideologi Nasional


Kompas Kamis, 19 Agustus 2010 | 02:59 WIB

Chris Panggabean
Kekuasaan dan kedaulatan di dunia terbagi-bagi dalam entitas yang disebut dengan negara. Dunia boleh saja semakin terhubung, terasa rata, dan seperti tanpa batas, tetapi secara faktual apa pun yang berpindah di atas muka bumi ini akan terikat pada hukum suatu negara dan dikenai bea olehnya.
Negara merupakan batas imajinatif kontrak sosial suatu masyarakat yang disebut bangsa. Mewujudkan cita-cita kolektif merupakan raison d’etre sebuah negara, sekaligus tujuan pada dirinya. Negara adalah sebuah takaran akan seberapa banyak jumlah orang yang harus diupayakan kesejahteraannya dan sejauh apa wilayah yang harus dikelola keberlangsungannya.

Oleh karena itu, pemerintah negara mana pun pasti memperjuangkan kesejahteraan takaran yang menjadi tanggung jawabnya dengan beragam cara. Jepang dan Korea Selatan melakukannya dengan model incorporated-nya, China dengan dua sistemnya, negara-negara Eropa dengan pasar bersamanya, lalu Amerika Serikat dengan imperium dollarnya.
Konstelasinya mirip era merkantilisme, yakni memindahkan kekayaan bangsa lain pada dirinya, hanya kali ini dilakukan tanpa invasi fisik seperti di masa lampau. Beberapa negara maju meminta negara berkembang mengurangi subsidi dan proteksi sementara mereka melakukan hal sebaliknya terhadap hasil ternak dan tani mereka.
Sovereign wealth funds merupakan salah satu kendaraannya yang paling kontemporer. Ia berperan tidak saja untuk mengakumulasi modal yang dimiliki oleh suatu negara, tetapi juga secara strategis menguasai industri-industri penting negara lain.
Pada titik ini, naif jika mengatakan bahwa isu-isu nasionalisme dan perihal kepentingan nasi- onal sebagai produk usang di era globalisasi sebab sesungguhnya kebijakan ekonomi-politik negara lain beroperasi sebaliknya.
Hambatan internal
Pada tahun 1960-an, keadaan ekonomi Indonesia paling terpuruk di antara sejumlah negara belum berkembang sehingga disebut a chronic dropout. Tidak heran jika kemajuan ekonomi dalam satu dekade kemudian dianggap sebagai sebuah keajaiban. Sayangnya, keajaiban itu hanya bertahan selama tiga dekade, lalu terempas lagi.
Proses sejarah memberi kita bahan refleksi. Kesuksesan belum tentu dapat diraih dengan mengulang jalan yang sama, sementara kegagalan sering kali jatuh di lubang yang sama. Cara yang dipakai bangsa lain memajukan negaranya belum tentu cocok bagi kita, tetapi faktor yang merusak sifatnya lebih universal. Sedikit banyaknya ada sumbangsih dari dalam diri bangsa Indonesia yang menyebabkannya tetap terpuruk.
Sepintas korupsi, suap, kolusi tampak membuat segala urusan menjadi lebih lancar dan mudah. Padahal, secara makro seluruh jalinan transaksi korup itu menipiskan mutu tabung gas, gedung, jembatan, jalan, kualitas udara, air, hutan, terlebih lagi mental aparat negara yang tak lagi serius mengurus kepentingan publik.
Sekarang semakin banyak orang berusaha keras memajukan diri dan kelompoknya lewat pencapaian materi. Sebab, harta hasil korupsi tetap mendatangkan pengakuan dan hormat, bukan sanksi sosial. Tak heran setelah satu dekade era reformasi, upaya untuk memajukan negara dan bangsa semakin merosot karena self interest (kepentingan diri/kelompok) selalu mengatasi national interest (kepentingan nasional).
Bangsa Indonesia memerlukan nasionalisme karena, pertama, ia menjadi semangat bersama untuk maju; kedua, ia adalah identitas superior yang mengatasi identitas kolektif lainnya, seperti kesukuan, kedaerahan, dan keagamaan yang banyak hidup di Tanah Air.
Perlu disadari bahwa perebutan sumber materi dan simbolis di Indonesia rentan untuk jatuh ke dalam konflik horizontal berdasarkan sentimen identitas kelompok. Meskipun memiliki fungsi sosial positif, harus ekstra hati-hati dalam memperlakukan nasionalisme. Ada banyak penumpang gelap yang menyertainya, mulai dari oportunis hingga pribadi totaliter, juga rentan menjadi sikap anti-asing.
Nasionalisme perlu dirumuskan sebagai strategi mewujudkan kepentingan nasional. Kepentingan nasional kita adalah memanfaatkan segenap potensi yang ada untuk sebesar-besarnya demi kesejahteraan bangsa Indonesia. Untuk itu, kebijakan yang diambil haruslah bersifat strategis dan memiliki visi jangka panjang. Terlebih dari itu, perlu strategi kebudayaan untuk mengikis perilaku-perilaku yang menghambat kemajuan. Fungsinya bukan sebagai panggung tari- tarian, melainkan untuk mendesiminasi nilai-nilai yang konstruktif.
Ada dua pilihan bagi perusahaan negara agar bisa efisien dan progresif: mengejar visi atau dihadirkan kompetitor. Secara empiris, kompetisi lebih efektif mengubah perilaku individu dan perusahaan.
Jika perusahaan negara yang monopolistis merugi terus dan tidak mau maju menjadi perusahaan kelas dunia, tak perlu marah jika ”mekanisme pasar” dipilih sebagai instrumen yang menggerakkan. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah sekaligus dapat bernilai strategi kebudayaan karena mengubah nilai yang dihidupi.
Contoh lain adalah lembaga ad hoc seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika korupsi menjadi norma kelompok karena orang semakin maklum dan toleran, kehadiran KPK mengentakkan akal sehat tentang apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh pejabat publik, dengan demikian ia menendang korupsi keluar dari arena kebudayaan.
Masih banyak cara lain yang mungkin untuk dikembangkan sehingga potensi nilai-nilai baik dapat digerakkan dalam bangsa ini.
Saat ini dunia bergerak semakin cepat, interkonektif dan semakin kompleks. Masalah pada satu titik di muka bumi menimbulkan efek berantai ke belahan dunia yang lain.
Ledakan gunung di Eslandia melumpuhkan penerbangan seluruh Eropa, pemanasan global yang menyebabkan gagal musim tanam/panen, serta berubahnya siklus ikan di laut, gempa Taiwan yang menghentikan jaringan internet dan industri elektronik dunia; kesemuanya itu adalah fenomena masalah global yang berdampak pada kepentingan nasional.
Bukan ideologi nasional
Globalisasi menjadi sesuatu yang plastis. Masalah yang dihadapi negara tidak dapat diatasi dengan resep tunggal, perlu penanganan yang sifatnya eklektik dan terfokus pada penyelesaian masalah. Untuk itu, yang diperlukan adalah strategi, bukan ideologi. Ideologi sifatnya tertutup dan tidak fleksibel dengan tantangan kontemporer.
Terakhir, krisis finansial dunia tahun 2008 membuat Amerika Serikat melakukan ”nasionalisasi” sejumlah banknya, sebuah kebijakan bernuansa ”sosialis” yang tak terbayangkan dilakukan oleh ikon liberal dunia.
Strategi merupakan upaya menyinergikan sejumlah cara untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Merumuskan strategi nasional artinya bagaimana membawa kepentingan nasional berselancar di atas gelombang globalisasi. Dengan kata lain, mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari situasi dunia yang semakin terbuka demi kepentingan Indonesia.
Jika mampu, perusahaan lokal layak didorong sebagai penggerak ekonomi. Jika tidak, mendatangkan mitra asing atau modal dari luar selama memberi nilai tambah dan keuntungan bagi kebutuhan lokal dapat saja dilakukan.
Dengan strategi tak perlu terjebak pada dunia dikotomis yang diciptakan oleh ideologi, seperti asing-lokal, liberal-komunal, sosialis-kapitalis. Ada ucapan bijak seorang rabi yang mengatakan, ”If I’m not for myself, who’ll be? But if I’m only for myself, what am I? ....” Setiap transaksi yang terjadi di negara ini hendaknya didasarkan pada nilai etis, yakni seberapa besar dampak kesepakatan itu bagi kesejahteraan manusia Indonesia.
”... And if not now, when?”
Chris Panggabean Asisten Peneliti di Universitas Indonesia; Aktif di Lingkar Muda Indonesia

Tidak ada komentar: