Kompas Rabu, 18 Agustus 2010 | 03:06 WIB
A Prasetyantoko
Beberapa hari menjelang pidato presiden di depan DPR, The New York Times (5/8/2010) menurunkan berita impresif tentang Indonesia. Tidakkah kita bangga, harian terkemuka itu menyebut Indonesia sebagai perekonomian terbesar kawasan Asia Tenggara yang layak dijadikan ”model”?
Ironinya, pidato Presiden justru ditanggapi dengan dingin: terlalu konservatif, normatif, dan tidak subtantif. Simptomnya cukup jelas, perekonomian yang sebenarnya penuh potensi mengalami kemandekan yang diiringi dengan kian menurunnya kredibilitas pemerintah di mata publik. Mestinya, fakta ini menjadi bahan refleksi penting di ulang tahun kemerdekaan ke-65.
Gegap gempita perekonomian kita memang terasa di luar sana. Semester II-2010, perekonomian tumbuh 6,2 persen. Minat melakukan investasi rupanya tak sebatas investasi portofolio, tetapi juga investasi langsung. Para investor global tengah mengalami fase euforia terhadap perekonomian Indonesia, apalagi dengan proyeksi tahun depan akan masuk investment grade. Suatu penilaian dari lembaga pemeringkat investasi yang menempatkan Indonesia menjadi target untuk menanamkan modal, baik jangka pendek maupun panjang.
Tak heran jika realisasi investasi asing langsung hingga kuartal II sudah melampaui target 2010. Sementara, investasi portofolio tetap bergairah, terbukti indeks bursa saham sudah naik lebih dari 20 persen sejak awal tahun. Meski ada pengetatan pada instrumen investasi Sertifikat Bank Indonesia, investor asing tak mau pergi dengan memindahkan portofolio ke Surat Utang Negara.
Target investasi
Dalam ritual pidato kenegaraan menyambut Hari Kemerdekaan RI, Presiden Yudhoyono tak hanya mencanangkan target pencapaian tahunan, tetapi juga target perekonomian 2014. Pada akhir kepemimpinannya sebagai presiden, ekonomi diprediksi tumbuh 7,0 hingga 7,7 persen. Dengan begitu, angka pengangguran bisa ditekan, karena diperkirakan akan tercipta 10,7 juta lapangan kerja baru, sementara angka kemiskinan bisa ditekan menjadi 8-10 persen.
Dalam rangka merealisasikan target tersebut, sederet kalkulasi sektoral sudah dilakukan, mulai dari target investasi, konsumsi domestik, pengeluaran pemerintah, hingga ekspor. Namun, tetap saja pidato itu dianggap tak berjiwa. Mengapa demikian?
Dalam rangka mencapai target pertumbuhan tersebut, komponen penting yang akan digenjot pemerintah adalah investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal menghitung, paling tidak investasi asing langsung (PMA) akan naik 3-4 kali lipat dari pencapaian 2009 pada empat tahun mendatang.
Untuk itu, pembenahan infrastruktur juga dilakukan secara progresif. Pada anggaran 2011, pembangunan infrastruktur ditargetkan Rp 1.500 triliun, sebagian besar menggunakan metode patungan pemerintah-swasta atau public-private partnership (PPP).
Kita semua sudah paham, salah satu hambatan terbesar perekonomian Indonesia adalah infrastruktur. Dalam Global Competitiveness Index 2009/2010, peringkat daya saing Indonesia berada di peringkat ke-54, jauh di bawah Malaysia (24) dan Thailand (36). Infrastruktur menjadi penghambat utama, terlihat dari peringkatnya yang begitu buruk, yaitu ke-88. Dan penyumbang terburuk komponen infrastruktur adalah kualitas jalan (peringkat ke-94) dan pelabuhan (95).
Meski pemerintah sudah mencanangkan target percepatan program pembangunan infrastruktur, masih saja ada banyak tanda tanya. Pertama, isu tersebut sama sekali bukan isu baru. Ada kemungkinan target seperti ini akan terus diulang pada tahun-tahun ke depan. Artinya, tidak ada perubahan berarti. Kedua, metode PPP tidak selalu mudah, karena dalam banyak kasus, partisipasi swasta akhirnya gagal, karena eksekusi yang bertele-tele.
Kalaupun program percepatan pembangunan infrastruktur bisa diraih dalam tahun-tahun mendatang, apakah persoalannya selesai? Dalam perspektif jangka panjang, sebenarnya ada investasi lain yang juga sangat mendesak untuk diperbaiki. Kualitas pembangunan manusia kita berada pada peringkat cukup rendah. Pada 2009, Human Development Index Indonesia berada pada level 111, jauh tertinggal dari negara tetangga (Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina).
Memang, investasi sosial telah diterjemahkan dengan peningkatan anggaran pendidikan. Situasi yang sama terjadi dalam hal peningkatan anggaran program penanggulangan kemiskinan. Meskipun budgetnya dinaikkan ratusan persen sejak beberapa tahun terakhir ini, bukan berarti angka kemiskinan bisa ditekan secara maksimal.
Prasyarat
Investasi sosial memiliki prasyarat penting, yaitu selain komitmen dan visi yang kuat dari pemimpin tertinggi, juga perangkat yang rapi di tingkat bawah untuk merealisasikannya. Sayangnya, dua hal ini semakin hari semakin terasa lemah. Mungkin itulah mengapa pidato gegap gempita ditanggapi dingin oleh sebagian besar masyarakat.
Mungkin benar, kita masih berada dalam tataran yang artifisial. Kalaupun target-target normatif dibeberkan, rasanya hambar tak berjiwa. Ibaratnya, dalam perspektif hukum, kita punya seluruh aturan hukum yang bersifat legal formal, tetapi tak pernah berpikir bagaimana menjalankannya. Bangsa kita adalah bangsa yang legalistik. Begitu pun di dunia politik. Meski menganut demokrasi, tetapi masih sebatas pada prosedur-prosedurnya. Substansi tentang demokrasi masih jauh panggang dari api.
Di bidang ekonomi, meski setiap pidato disiarkan tentang komitmen kesejahteraan rakyat, bisa jadi hal itu tidak bermakna apa-apa. Perekonomian berjalan begitu saja, mengikuti irama dinamika global. Kita belum beranjak dari perekonomian yang mengandalkan pada faktor-faktor ekonomi sumber daya alam dan belum mengarah pada perekonomian yang berbasis pada efisiensi. Begitu kata-kata dalam World Competitiveness Report 2009/2010.
Itulah mengapa ketika rupiah menguat, ada wacana untuk memperlemah agar penghasilan ekspor tidak menurun. Jika kita sudah menjadi bangsa yang bertumpu pada efisiensi, menguatnya nilai tukar rupiah akan diimbangi dengan peningkatan produksi, karena bahan baku impor yang semakin murah.
Meski prospek ekonomi jangka menengah kelihatan cerah, bisa jadi sebenarnya secara fundamental tidak ada perubahan yang berarti. Perekonomian kita masih saja mengandalkan faktor-faktor produksi primer untuk diekspor guna menghasilkan devisa, sementara sektor industri semakin tertatih-tatih, bahkan proporsinya dalam perekonomian semakin mengecil. Itulah gejala deindustrialisasi yang sudah mulai terasa.
Pada kuartal II-2010, meski pertumbuhan cukup tinggi, tetapi didominasi sektor jasa yang tidak padat karya, seperti sektor pengangkutan dan telekomunikasi, sementara sektor industri manufaktur masih belum optimal. Sektor industri memang harus dibenahi secara benar, jika tidak, pidato Presiden hanya akan jadi buih (bubble) yang setiap saat bisa meletus.
A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar