Kompas Kamis, 19 Agustus 2010 | 03:00 WIB
Irwan Julianto
Tema diskusi menyambut Hari Kebangkitan Nasional bulan Mei yang lalu kiranya masih relevan dan ada benang merahnya ketika kita baru saja merayakan peringatan Hari Kemerdekaan Ke-65 Republik Indonesia dua hari lalu.Sejatinya, negara ini, baik penyelenggara maupun masyarakatnya, harus menyatukan segenap daya dan upaya untuk mewujudkan suatu ”Indonesia Incorporated”, yaitu mengubah secara radikal posisi Indonesia yang kini lebih sebagai negara konsumen ketimbang negara produsen di percaturan global.
Dalam perjalanan sejarah 65 tahun Indonesia sebagai republik yang didirikan dengan semangat antikolonialisme dan antieksploitasi satu bangsa oleh bangsa lain, kita justru makin menjauh dari tekat itu. Realitasnya, kolonialisme baru secara diam-diam telah merasuk jauh ke dalam wilayah kedaulatan politik, ekonomi, dan kebudayaan kita.
Semangat kemandirian yang digaungkan para Bapak Bangsa pun kian pudar di tangan rezim penguasa (dan pengusaha) yang lebih peduli kepentingan asing maupun kekayaan pribadi dibandingkan kepentingan rakyat banyak: pemilik dan ahli waris sah negeri ini.
Indonesia makin jauh dari semangat Tri Sakti yang digelorakan Soekarno, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Di bidang politik-ekonomi, bangsa dan negara Indonesia jauh dari berdaulat walaupun secara de jure Republik Indonesia diakui dunia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Berbagai aturan diciptakan justru untuk melapangkan jalan bagi investasi asing dan melemahkan kemandirian ekonomi bangsa.
Seorang pejabat tinggi negara bahkan menyatakan tidak diperlukan pembatasan waktu buka supermarket-supermarket asing berikut cabang dan ranting mereka. Ini sama saja dengan penegasan bahwa proteksi terhadap pasar tradisional tidaklah penting.
Perekonomian Indonesia jauh dari berdikari, malah banjir barang-barang impor, mulai dari kebutuhan pokok hingga barang konsumtif mewah melampaui volume dan nilai komoditas ekspor kita. Sampai 60 persen garam pun harus kita impor, padahal Indonesia kita banggakan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia! Defisit anggaran karena besarnya beban utang berikut bunganya, ditutup dengan penjualan aset-aset strategis kepada asing. Basis pungutan pajak terus diperluas, sementara para investor dan pengusaha besar malah diiming-iming dan diguyur berbagai insentif perpajakan.
Di bidang kebudayaan, kita kian kehilangan kepribadian. Kita lebih banyak menjadi konsumen bagi produk-produk asing. Jumlah produk Indonesia yang memiliki brand yang bisa menembus pasar regional apalagi global nyaris tak ada atau paling-paling tidak lebih dari jumlah jari di satu telapak tangan.
Tak adanya ambisi
Padahal, menurut YW Junardy, Presiden Asia Marketing Federation, kini pertumbuhan ekonomi sedang berkembang pesat di negara-negara yang tadinya tertinggal atau sedang-sedang saja perekonomiannya, seperti China, India, Brasil, Rusia, yang lazim dijuluki negara-negara BRIC, dan Meksiko.
Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat mengatakan bahwa pusat gravitasi dunia kini sudah mengarah secara nyata dan lebih menguntungkan emerging economics. Tahun 2005 proporsi pertumbuhan ekonomi dunia berbanding 20 persen untuk negara-negara sedang berkembang (emerging countries) dan 80 persen negara-negara maju. Tahun 2030 rasio itu menjadi 50 persen : 50 persen.
Ini senada dengan amatan jeli Antoine van Agtmael dalam The Emerging Market Century (2007), bahwa terjadi kebangkitan ”Dunia Ketiga” menuju ”Emerging Markets”, yang antara lain ditandai dengan fenomena: multinasional baru terus bermunculan di Asia dan Amerika Latin, dari ”low tech low cost” menjadi ”high tech high quality”, dari kontrak manufakturing menjadi desain, dari mindset pemain lokal menjadi pemain global, dari penjiplak (imitator) menjadi inovator, dari ”no brand” menjadi penyandang ”branding” kelas dunia, dan dari negara yang pada tahap ”survival” menjadi terlibat dalam kepemimpinan global.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memiliki segala potensi untuk masuk dalam tataran yang sejajar dengan BRIC dan Meksiko. Menurut Junardy, Indonesia perlu aktif bermain di arena global karena selain dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan pemerintahan yang formalnya demokratis, juga secara geografis amat strategis terletak di kawasan yang paling dinamis pertumbuhannya.
Sayangnya, menurut Konichi Ohmae yang datang ke Indonesia dua tahun lalu, apa yang tidak dimiliki Indonesia adalah ”AMBISI”. Seharusnya Indonesia amat layak masuk dalam himpunan IBRIC.
Selain ambisi, Indonesia tentu membutuhkan strategi menghadapi pertempuran atau kompetisi global. Dan ini bukan hanya pertempuran oleh pemerintah, namun terutama pertempuran oleh sektor swasta. Dalam percaturan regional dan global, yang terpenting adalah seberapa tingkat kekompetitifan Indonesia, baik pemerintah maupun swasta, bukan lagi soal dikotomi liberalisme atau kontraliberalisme.
Dalam kenyataannya, tidak ada lagi negara yang mutlak liberal atau negara kesejahteraan, yang terjadi adalah percampuran keduanya, hanya tinggal gradasinya. Indonesia yang berideologi dan berkonstitusi yang bernapaskan negara kesejahteraan mau tak mau harus bisa mengikuti irama ekonomi liberal global walaupun tak perlu larut dan hanyut sepenuhnya dengan mengorbankan kesejahteraan bagi warganya.
Masih ada harapan
Sayangnya, stigma dan citra sebagai salah satu negara yang paling kurang kondusif iklim bisnisnya telanjur lekat ke Indonesia. Negara kita kerap disebut-sebut sebagai negara terkorup di dunia, paling tidak kompetitif, paling rendah tingkat produktivitas buruhnya, hingga negara tujuan wisata yang paling kurang menyenangkan. Ini memang tecermin dalam peringkat Indonesia yang menduduki posisi ke-123 dari 133 negara untuk kemudahan melakukan bisnis.
Padahal, ada sederet panjang potensi bisnis yang bisa didorong ke kancah kompetisi global, seperti industri berbasis sumber daya alam (batu bara, sawit, energi terbarukan), perikanan, agrobisnis, pupuk dan hortikultura, manufacturing, turisme, fashion dan garmen (batik), kerajinan tangan (perak, perhiasan), kuliner, industri kemasan, kedokteran modern dan pengobatan tradisional, spa, hingga transportasi udara dan laut.
Seolah menjawab pesimisme dengan maraknya korupsi hingga kian gundulnya hutan tropis kita, munculnya beberapa brand Indonesia ke kancah regional dan global sungguh melegakan. Junardy menyebut merek Kijang, sepeda Polygon, Garuda Food, Indofood, JCo, hingga Kuku Bima dan Extra Joss, serta terutama ”Bali” telah mendunia. Ini semua dapat menjadi modal awal kebangkitan nasional baru dan memberi makna bagi kemerdekaan sejati yang bukan sekadar berisi upacara dan lomba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar