Kompas, Kamis, 16 September 2010 | 04:25 WIB
A Prasetyantoko
Ada dua berita kontradiktif terkait perekonomian kita. Pertama, berita gembira datang dari Forum Ekonomi Dunia yang menyatakan, Indonesia mengalami peningkatan progresif dalam hal daya saing. Laporan Perkembangan Daya Saing Dunia menunjukkan Indonesia naik 10 tingkat dari posisi ke-54 menjadi ke-44 pada periode 2010-2011 ini. Hal kedua terkait berita buruk, menyatakan bahwa kinerja ekonomi kita ternyata kalah jauh daripada negara-negara tetangga.
Sejatinya, keduanya bukanlah hal yang bertolak belakang. Muara dari keduanya bertumpu pada persoalan fundamental yang sama. Jika ditelisik lebih jauh, peningkatan Indeks Daya Saing Global Indonesia lebih banyak ditopang oleh perbaikan indikator ekonomi makro. Sementara persoalan-persoalan struktural, seperti infrastruktur, kesehatan masyarakat, dan dukungan birokrasi, masih tak jauh berbeda dibandingkan dengan periode sebelumnya. Dan karena itu, menjadi masuk akal kalau kinerja perekonomian kita tertinggal dari negara tetangga.Kita sangat antusias melihat angka pertumbuhan ekonomi kita pada triwulan II mencapai 6,2 persen. Namun, begitu melihat kinerja perekonomian negara tetangga, terlihat prestasi yang kita banggakan itu bukan apa-apa. Pada periode yang sama, seperti dikutip Kompas (14/9/2010), Singapura mampu tumbuh sangat cepat 18,8 persen. Sementara Thailand 9,1 persen, Malaysia 8,9 persen, dan Filipina pada triwulan I mampu tumbuh 7,3 persen.
Lagi-lagi kita bertanya, mengapa perekonomian kita yang begitu potensial hanya mampu tumbuh secara aktual biasa-biasa saja. Mengapa kinerja perekonomian di bawah kapasitas yang semestinya. Bagaikan permainan tinju, kita yang semestinya ada di kelas berat, hanya mampu bertarung di kelas bulu.
Infrastruktur
Apa masalah paling krusial perekonomian kita? Menurut penilaian pelaku bisnis yang tertangkap dalam survei terhadap 124 eksekutif senior berbasis di Indonesia, terlihat masalah infrastruktur menjadi hal paling pokok dan mendasar. Survei yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers ini menunjukkan, hampir separuh dari responden menyatakan masalah infrastruktur sebagai hal sangat penting. Laporan berjudul ”Economic Barometer Survey Indonesia” ini menyatakan, meskipun terjadi peningkatan kepercayaan terhadap iklim investasi di Indonesia, hal-hal fundamental dinilai tidak diselesaikan sehingga menimbulkan masalah.
Hasil ini tak mengejutkan karena isu infrastruktur adalah sesuatu yang kasatmata, siapa pun bisa merasakan. Sayangnya, bahkan untuk urusan yang seempiris itu, respons pemerintah cenderung abstrak.
Dalam Global Competitiveness Report juga disebutkan, meskipun terjadi peningkatan daya saing, persoalan infrastruktur, kesehatan masyarakat dan dukungan teknologi masih tetap menjadi tiga agenda paling penting bagi perekonomian kita. Sama seperti pada periode sebelumnya. Masalah infrastruktur, yang pada periode lalu menempati peringkat ke-88 kini naik menjadi peringkat ke-82.
Pada laporan sebelumnya kualitas jalan menempati urutan ke-94 dan kini naik menjadi ke-84. Sementara pelabuhan yang sebelumnya di peringkat ke-95, untuk periode 2010-2011 ini justru melorot ke posisi ke-96. Peringkat lebih buruk ditempati oleh faktor ketersediaan sumber daya listrik yang berada di posisi ke-97. Pendek kata, masalah infrastruktur masih menjadi penghambat paling utama daya saing perekonomian kita.
Kondisi kesehatan masyarakat juga tak kalah merisaukan. Indonesia masih dianggap sebagai salah satu negara tertinggi di dunia dalam hal tingkat kematian bayi di bawah umur 5 tahun dan ibu melahirkan. Sementara penyakit seperti tuberkulosis, malaria, dan HIV/AIDS masih menjadi kendala serius yang mengakibatkan daya saing perekonomian mengalami transformasi substansial.
Perekonomian kita memang masih dianggap lebih bertumpu pada faktor-faktor bawaan (endowment) dan kekayaan sumber daya alam (komoditas primer), dan belum termasuk dalam kategori perekonomian yang didorong oleh faktor efisiensi. Kelambanan transformasi bisnis ini salah satunya disebabkan oleh lemahnya faktor pengungkit, yaitu ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Dimensi politik
Dalam laporan kali ini, World Economic Forum masih menempatkan Swiss sebagai negara paling kompetitif di dunia. Alasannya, negara ini memiliki kapasitas inovasi yang mumpuni, sementara kultur bisnisnya sudah sangat maju. Selain itu, ketersediaan infrastruktur termasuk yang terbaik di dunia, sementara birokrasinya efisien dan transparan.
Urutan kedua ditempati oleh Swedia, karena dianggap sebagai negara paling transparan dan efisien institusi publiknya. Angka korupsi sangat rendah, sementara kondisi kesejahteraan masyarakatnya memadai. Ketimpangan sosialnya relatif kecil. Urutan ketiga adalah Singapura dengan predikatnya sebagai negara yang paling efisien, baik sistem pemerintahan maupun masyarakatnya.
Harus jujur diakui, membandingkan Indonesia dengan ketiga negara terbaik dalam hal daya saing tersebut tidaklah sejajar. Ketiga negara itu tergolong sebagai negara kecil yang kompleksitas masalahnya tak sebesar Indonesia. Meski begitu, bukan berarti kita punya alasan untuk tidak berbuat apa-apa.
Potensi perekonomian Indonesia sangat bagus. Stabilitas makroekonomi cukup mendukung, sementara investasi di bidang pendidikan mulai dirasakan sebagai hal yang positif. Kekayaan alam dan demografis tidak bisa diabaikan. Dan karena itu, hal yang sangat penting adalah ”manajemen”. Artinya, kemampuan untuk mewujudkan potensi tersebut ke dalam realitas.
Dimensi politik tak bisa diabaikan. Manajemen sebuah bangsa berkaitan erat dengan dinamika politik, yaitu kemampuan mengeksekusi sebuah rancang bangun kebijakan. Tanpa eksekusi, seluruh konstruksi perencanaan hanya akan menjadi model, tanpa pernah berubah jadi kenyataan. Hal yang paling mudah soal infrastruktur. Semua orang tahu persoalannya ada di mana, tetapi semua orang juga tahu tidak mudah menyelesaikan inti masalahnya.
Indonesia memiliki peluang untuk memajukan diri, di tengah-tengah dunia yang berubah. Pusat pertumbuhan bukan lagi ada di negara maju, melainkan di negara sedang berkembang. Dunia tengah mengalami rebalancing. Namun, dibutuhkan seperangkat institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang mendorong agar produktivitas terus terpacu sehingga dalam jangka panjang akan tercipta daya saing yang berkesinambungan.
Faktor-faktor seperti infrastruktur, kesehatan masyarakat dan pendidikan menjadi hal paling dasar yang menjadi semacam landasan pacu bagi manuver kebijakan dan bangunan institusi yang berorientasi pada peningkatan daya saing.
Faktor stabilitas makroekonomi bisa saja bersifat temporer mengingat dinamika perekonomian global masih tidak menentu. Namun, membangun infrastruktur dan prasyarat fundamental lainnya tak pernah lekang dimakan waktu. Kenapa kita tidak bergerak dari bangunan paling fundamental ini? Moga-moga, kalau sempat terjadi pergantian kabinet, agenda ini tak lagi diabaikan.
A PRASETYANTOKO Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar