Kompas, Jumat, 17 September 2010 | 03:14 WIB
Tatkala mendengar berita tentang rencana pembangunan mal baru di kawasan Taman Ria Senayan, Jakarta, banyak orang terkaget-kaget. Ternyata ada yang lebih mengagetkan lagi ketika membaca warta terpanas rencana pembangunan gedung pencakar langit 36 lantai sebagai markas baru para wakil rakyat, juga di Senayan.
Bagaimana tidak kaget. Bila dirunut ke belakang, seingat saya, Bung Karno dulu merancang kawasan Senayan sebagai kawasan hijau dengan fokus utama kegiatan olahraga. Gedung Olahraga Senayan, dengan bentuk atap ”temu gelang”, konon merupakan yang pertama di dunia, menjadi tenggeran yang menonjol.
Dalam perkembangannya, muncul kompleks bangunan yang dirancang untuk mewadahi kegiatan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Kompleks itulah yang sekarang menjadi tempat berkiprahnya para anggota DPR yang ”terhormat”.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat pada era Orde Baru mengakibatkan menguatnya tekanan pembangunan bernuansa komersial terhadap kawasan strategis itu. Bermunculanlah bangunan-bangunan baru berupa hotel, apartemen, mal, plaza, yang melahap lahan ruang terbuka hijau (RTH), dengan amat rakus. Penyimpangan tata ruang secara masif semacam ini berlangsung terus, nyaris tanpa kendali.
Terutama sekali karena dalam Undang- Undang Penataan Ruang (UUPR) Nomor 24 Tahun 1992 tidak tercantum pasal mengenai sanksi, baik bagi pemberi izin maupun pelaku pembangunan atau developer yang melanggar ketentuan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota. Terngiang-ngiang kembali puisi mbeling Remy Silado dengan sedikit improvisasi: Banyak ruang banyak AC/Banyak uang banyak ACC/Akibatnya rakyat kebanjiran air dan longsoran/Pejabat kebanjiran uang dan sogokan.
Itulah sebabnya, tatkala diminta oleh Menteri Pekerjaan Umum untuk mengawal penyusunan UUPR yang baru, saya bersikukuh agar ketentuan mengenai sanksi bagi pelanggar harus ditetapkan. Dalam UUPR Nomor 26 Tahun 2007, sudah termaktub sanksi yang tegas, baik bagi pemberi izin maupun bagi agen pembangunannya.
”Ecological intelligence”
Manakala orang-orang banyak bicara tentang kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, seorang reporter New York Times bernama Daniel Goleman menerbitkan buku berjudul Ecological Intelligence (2009). Diingatkannya bahwa perilaku dan tindakan manusia di segenap pelosok dunia telah mengakibatkan bencana berupa defisit ekologis yang sangat membahayakan eksistensi planet kita dengan segala isinya.
Di Indonesia, UUPR Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa setiap kota wajib menyisihkan 20 persen lahan perkotaan untuk RTH publik dan 10 persen lagi untuk RTH privat. Di kota Jakarta, menurut catatan saya, RTH-nya tinggal 9,8 persen. Jadi, kota Jakarta saat ini sudah melanggar ketentuan undang-undang. Memang tampak mulai ada usaha-usaha Pemerintah Daerah DKI untuk mengembalikan fungsi RTH, antara lain dengan membongkar beberapa SPBU yang menduduki taman-taman di kota Jakarta. Namun, itu saja tidak cukup berarti. Tidak kalah penting adalah upaya menjaga taman-taman dan RTH yang berada di segenap penjuru kota agar tidak dijarah oleh para robber barons atau urban cowboys yang mengidap lapar lahan (land-hungry developers).
Sungguh tidak masuk akal bila tokoh elite yang bertengger di kursi kebesaran sebagai wakil rakyat menutup mata dan telinga. Tidak mendengar protes keras rakyat yang menolak pembangunan gedung supermewah dengan biaya Rp 1,6 triliun di RTH Senayan hanya untuk kenyamanan mereka sendiri. Bila gedung pencakar langit itu tetap saja dibangun, kita semua bisa memberi predikat kepada para wakil rakyat itu sebagai pengidap ”kepandiran ekologis”.
Mereka akan memberi contoh jelek sebagai bagian dari pelanggar undang-undang karena luas RTH di kota Jakarta yang sudah sempit jelas akan menjadi kian sempit. Dampak ikutannya, banjir kota Jakarta akan tambah parah. Udara pun akan menjadi lebih panas karena munculnya fenomena urban heat island di kawasan Senayan. Rakyat layak pula menyoal tentang keadilan lingkungan yang terkesan dilecehkan para wakil mereka.
Urbanisme yang brutal
Tatkala Prof Emil Salim meluncurkan buku barunya dalam peringatan ulang tahun yang ke-80 beberapa waktu silam, saya sempat menyampaikan beberapa keluhan.
Salah satunya adalah kenapa yang diundang adalah tokoh-tokoh dari kampus dan para aktivis lingkungan dari LSM, yang notabene kepedulian terhadap lingkungannya sudah cukup tinggi. Kenapa pengusaha, eksekutif, dan wakil rakyat tidak ikut diundang. Padahal, kelompok private sector, yang bila diucapkan kedengarannya tidak begitu beda dengan profit sector dan para pejabat, serta wakil rakyat itulah yang cenderung tidak terlalu peka terhadap keseimbangan ekologis.
Prof John Rennie Short, Guru Besar Geografi dari University of Maryland, dalam buku terbarunya berjudul Cities and Nature (2008) mengungkapkan tentang fenomena urbanisme yang brutal. Ditudingnya para pengembang yang berkolusi dengan pejabat dan politisi mengembangkan kawasan perkotaan secara ekstensif dan sistemik dengan skala gigantik-gargantuan, merusak ekologi perkotaan.
Jadi, kalau kita beramai-ramai menolak pembangunan gedung pencakar langit untuk DPR di Senayan, bukan semata-mata karena masalah tingginya biaya dan kemewahannya, melainkan lebih karena kebrutalannya, yang akan berakibat sangat negatif terhadap keseimbangan ekologis dan keberlanjutan kota Jakarta yang kita cintai bersama. Apabila kepandiran ekologis dari para tokoh di puncak kekuasaan tidak ditangkal, kita tinggal menunggu runtuhnya peradaban kota kita.
EKO BUDIHARDJO Ketua Forum Keluarga Kalpataru Lestari (Fokkal); Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar