Senin, 18 April 2011

Demokrasi Indonesia sebagai Role Model?

Jum'at, 25 Maret 2011 - 10:03 wib

Dalam sebuah pertemuan dengan House Democracy Partnership Committe Kongres Amerika Serikat (AS) yang dipimpin oleh David Dreier pada 23 Februari 2011, Wakil Ketua DPR RI dari Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia adalah salah satu sistem demokrasi terbaik di dunia dan layak dijadikan sebagai role model bagi negara-negara lain.

Priyo juga dengan percaya diri mengatakan bahwa penerapan demokrasi di Indonesia dalam beberapa hal lebih baik jika dibandingkan dengan penerapan demokrasi di AS. Jika dulu demokrasi AS dijadikan sebagai role model bagi Indonesia dalam mengembangkan demokrasi pada masa transisi pasca reformasi 12 tahun yang lalu, kini Indonesia dapat berbangga hati karena demokrasi Indonesia telah berkembang lebih baik jika dibandingkan dengan demokrasi AS.

Salah satu indikatornya, kata Priyo, adalah dalam hal pemilihan presiden langsung. Apabila Indonesia telah memulai pemilihan presiden langsung sejak tahun 2004 lalu, AS hingga saat ini justru masih menganut sistem Electoral Votes dalam memilih presiden. Electoral Votes adalah sebuah sistem pemilihan presiden di AS yang menggunakan pola perwakilan (electors) yang memiliki mandat mewakili masyarakat AS dalam memilih presiden mereka dan jumlah electors di tiap-tiap negara bagian bervariasi tergantung dari jumlah penduduknya.

Di sini Priyo sepertinya terlalu menyederhanakan makna demokrasi, karena hanya mengukurnya dari sistem pemilihan umum langsung. Padahal literatur ilmu politik kontemporer menjelaskan makna demokrasi secara lebih luas yang tidak hanya diukur dengan satu indikator saja seperti pemilu langsung.

Artikel singkat ini akan menguji kadar dan tingkatan demokrasi Indonesia dengan menggunakan literatur ilmu politik kontemporer, dan dari situ kita akan mengetahui apakah demokrasi Indonesia dapat dikatakan mapan dan pantas dijadikan sebagai role model bagi negara-negara lain.

Indikator

Literatur ilmu politik kontemporer membedakan dua jenis demokrasi, yang pertama adalah negara demokrasi mapan (NDM) dan jenis yang kedua adalah negara yang sedang menuju demokrasi (NSMD). Kedua jenis demokrasi ini dapat dijadikan indikator untuk menilai maju atau tidaknya sebuah demokrasi.

NDM adalah negara yang kebijakan pemerintahnya, baik kebijakan dalam negeri ataupun kebijakan luar negeri, disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang langsung-umum-bebas-rahasia (luber) dan jujur-adil (jurdil) serta dilakukan secara berkala. Prasyarat bagi terlaksananya pemilihan umum secara langsung yang luber dan jurdil adalah terdapatnya kebebasan berbicara, terdapatnya kebebasan berorganisasi untuk bersaing dalam pemilihan umum, dan terwakilinya secara adil pandangan yang beragam di dalam media massa.

Sementara itu NSDM adalah negara yang belum sepenuhnya memenuhi syarat yang terdapat dalam kriteraia NDM. Sebagai contoh, Republik Ceko dan Yugoslavia di awal 1990-an adalah jenis NSDM. Meskipun kedua negara ini telah melaksanakan pemilihan umum secara luber dan jurdil, tapi kebebasan sipil dalam berpendapat masih dikekang oleh pemerintah.

Pertanyaannya adalah kapan NSDM dapat menjadi NDM ? Juan Linz dan Alfred Stepan (1996) menjawab bahwa NSDM dapat menjadi NDM adalah ketika suatu negara telah dua kali melakukan pergantian kekuasaan (two turnover rule) untuk menandai telah terjadinya konsolidasi demokrasi. Demokrasi dipandang terkonsolidasi jika kekuasaan telah berpindah tangan sebanyak dua kali melalui proses pemilu yang luber dan jurdil. Linz dan Stepan juga menjelaskan bahwa demokrasi yang terkonsolidasi adalah ketika dia merupakan the only game in town. Itu berarti tidak ada lagi jalan bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain dengan memenangkan pemilihan umum secara luber dan jurdil.

Menurut Freedom House, jika NSDM ingin masuk dikategorikan sebagai NDM, maka negara tersebut harus memiliki kelembagaan dan hukum yang solid, politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, partisipasi publik yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil termasuk didalamnya kebebasan terhadap kaum minoritas.

Semua kriteria di atas sebagaimana yang disebutkan Linz dan Stepan maupun Freedom House adalah indikator untuk menjelaskan standar baku sebuah negara agar dapat menjadi NDM.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sedikit banyak Indonesia telah menerapkan prasyarat yang terdapat dalam kategori NDM. Indonesia telah menerapkan sistem pemilihan umum yang luber dan jurdil; partisipasi publik yang luas; kebebasan berbicara juga mulai tumbuh; media massa tidak lagi terkekang seperti dimasa Orde Baru; dan konsolidasi demokrasi secara damai telah berpindah tangan lebih dari dua kali (3 kali), terhitung perpindahan kekuasaan dari era Gusdur, Megawati dan SBY. Untuk itu adalah wajar apabila Indonesia dimasukan sebagai negara demokrasi mapan (NDM) ketiga setelah Amerika Serikat dan India.

Akan tetapi Indonesia juga masih memiliki pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan oleh demokrasi. Kita semua tahu, masih terdapat luka yang harus disembuhkan oleh demokrasi, seperti kasus kekerasan agama terhadap kaum minoritas Ahmadiyah dan praktik korupsi yang terus menggerogoti kekayaan negara.

Dalam kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, Indonesia dinilai gagal dalam memberikan ruang kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Sejak pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 2008 tentang Ahmadiyah, kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah justru meningkat. Selain itu SKB juga telah membatasi kegiatan kaum Ahmadiyah di beberapa provinsi Indonesia.

Dalam konteks demokrasi mapan, pembatasan terhadap kegiatan kaum Ahmadiyah ini jelas sebuah kemunduran, karena apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui SKB-nya justru mendiskriminasi kaum minoritas dan bukannya menyelesaikan persoalan dan ini adalah salah satu bentuk dosa demokrasi yang harus ditiadakan.

Begitupula dengan kasus korupsi. Berdasarkan data Transparency International Ranking 2010, Indonesia masuk dalam peringkat 110 indeks persepsi korupsi, dari 200 negara di seluruh dunia.

Yap Swee Seng, Executive Director Asian Forum for Human Rights and Development, menilai bahwa indeks persepsi korupsi itu adalah salah satu bentuk tantangan dalam kehidupan demokrasi di negara-negara yang berada di wilayah Asia, termasuk Indonesia didalamnya.

Menurut Yap tindakan korupsi yang terjadi di Asia (termasuk Indonesia) biasanya dilakukan oleh pihak eksekutif, bentuknya tidak hanya berupa pengerukan uang untuk kepentingan pribadi, tapi juga bisa berbentuk penyalahgunaan wewenang. Di tingkat lembaga legislatif, proses penyusunan anggaran yang dibuat lembaga tersebut juga dinilai tidak transparan karena tidak melibatkan masyarakat sipil dalam penyusunannya.

Kita boleh berbangga jika Indonesia dikategorikan sebagai NDM ketiga setelah AS dan India, tapi kita juga harus malu karena dikategorikan sebagai salah satu negara paling terkorup di dunia.

Dengan begitu tentu kita bertanya, pantaskah Indonesia dijadikan sebagai role model demokrasi bagi negara-negara lain sebagaimana yang di yakini oleh Priyo Budi Santoso. Jawabannya adalah pantas, dengan catatan “jika kekerasan atas nama agama di negara ini dihentikan dan para pelaku korupsi dapat ditindak tegas secara hukum sampai ke akar-akarnya”. Semoga saja!

Asrudin
Analis media sosial di LSI Network dan penulis buku Global Warming
 
sumber http://suar.okezone.com/read/2011/03/25/58/438722/58/demokrasi-indonesia-sebagai-role-model

Tidak ada komentar: